Peringkat Paspor China Turun Tajam di Daftar Global

Rahman Asmardika, Jurnalis
Kamis 14 Agustus 2025 12:15 WIB
Paspor China. (Foto: Unsplash)
Share :

JAKARTA – Peringkat paspor China dalam daftar global menunjukkan penurunan signifikan, anjlok ke posisi 115, yang mencerminkan sejumlah tantangan terkait kebijakan luar negeri dan dalam negeri negara tersebut. Sebagai salah satu negara dengan populasi dan ekonomi terbesar di dunia, posisi paspor China dalam hal mobilitas internasional menjadi sorotan karena dipengaruhi oleh dinamika diplomasi, kebijakan domestik, dan persepsi global.

Meskipun paspor China sering dianggap sebagai simbol akses dan kebanggaan nasional, kenyataannya banyak warga negara mengalami berbagai kendala saat bepergian ke luar negeri, termasuk pengawasan dan pembatasan tertentu di beberapa negara. Situasi ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara harapan dan realitas dalam pengalaman perjalanan internasional bagi pemegang paspor China.

Dilansir The Singapore Post, dalam satu kasus di Tanzania, seorang blogger mendokumentasikan bagaimana warga negara China diperiksa bagasinya dan dipaksa membayar suap, sementara pelancong lain lolos tanpa gangguan. Pengalaman-pengalaman ini bukanlah sesuatu yang terisolasi. Pengalaman-pengalaman ini merupakan gejala dari meningkatnya ketidakpercayaan global terhadap pelancong China.

Pendekatan diplomasi China yang sering disebut sebagai “Wolf Warrior Diplomacy” dikenal dengan retorika tegas, penggunaan tekanan politik, dan pesan nasionalis yang kuat. Strategi ini dinilai telah memengaruhi hubungan China dengan sejumlah negara, di mana sebagian pihak melihatnya sebagai faktor yang justru menghambat pembangunan kepercayaan.

Upaya pemerintah untuk memperkuat posisi kebijakan “Satu China” melalui dukungan finansial kepada sejumlah negara kecil belum sepenuhnya menghasilkan peningkatan citra positif bagi warganya di mata internasional. Sebagian pihak menilai langkah ini menimbulkan persepsi bahwa kebijakan tersebut lebih bersifat transaksional dibandingkan berbasis kemitraan jangka panjang.

 

Perbedaan antara tujuan diplomasi dan persepsi publik internasional terlihat, antara lain, dalam perlakuan yang diterima sejumlah wisatawan China di luar negeri. Beberapa insiden, seperti kasus di Australia ketika seorang pria lanjut usia dikenai denda karena membawa barang yang tidak dideklarasikan, kerap menjadi sorotan dan memicu stereotip negatif terhadap pelancong asal China. Walaupun tidak mencerminkan perilaku seluruh wisatawan, situasi ini terkadang diperburuk oleh minimnya literasi aturan dan kesadaran hukum di kalangan sebagian warga.

China memiliki 1,4 miliar penduduk, namun hanya sekitar 200 juta yang memegang paspor. Banyak dari individu ini belum pernah bepergian ke luar negeri dan terus-menerus disuguhi propaganda nasionalis yang mengagungkan paspor China. Namun ketika mereka bepergian, kesenjangan antara harapan dan kenyataan sangat mencolok. Di Hong Kong, misalnya, warga negara China memerlukan izin khusus dan mendapatkan masa tinggal bebas visa yang lebih singkat dibandingkan warga Amerika, India, atau Rusia. Ironisnya, Hong Kong konon merupakan bagian dari China, namun warga negara China menghadapi lebih banyak pembatasan daripada warga negara asing.

Bahkan di dalam negeri, paspor dapat dicabut secara sewenang-wenang. Seorang jurnalis menceritakan bagaimana paspornya dibatalkan oleh otoritas setempat tepat sebelum perjalanan ke Qatar karena alasan "Terlalu banyak penipuan di luar negeri akhir-akhir ini". Kontrol paternalistik ini mencerminkan ketidakpercayaan PKC yang mendalam terhadap rakyatnya sendiri dan obsesinya terhadap pengawasan. Hasilnya adalah paspor yang tidak hanya kurang dihormati secara global tetapi juga gagal menjamin mobilitas di dalam perbatasan China sendiri.

Ketika warga negara China menghadapi masalah di luar negeri, kedutaan mereka seringkali tidak merespons. Seorang pria yang terdampar di bandara Malaysia setelah kehilangan paspornya tidak menerima bantuan meskipun telah dihubungi berulang kali. Seorang pelancong lain yang ditipu di Barus kehilangan USD40.000 yang disita oleh polisi setempat. Setelah mengirim 17 email ke kedutaan China, ia hanya menerima balasan yang samar: "Mohon bersabar." Kisah-kisah ini mengungkapkan kenyataan pahit: apa yang disebut kekuatan nasional China tidak mencakup perlindungan warga negaranya di luar negeri.

Sejumlah pengamat menilai bahwa persoalan ini berkaitan dengan prioritas kebijakan pemerintah China, yang mengalokasikan dana besar untuk bantuan luar negeri dan penguatan kemampuan pertahanan, namun dianggap belum memberikan perhatian optimal pada layanan konsuler bagi warganya. Dalam praktiknya, sebagian warga merasa perlindungan terhadap mereka di luar negeri masih terbatas. Situasi tersebut berpotensi memperkuat pandangan bahwa pelancong asal China cenderung pasif dalam menghadapi permasalahan di luar negeri.

 

Gagasan pemerintah China mengenai “peremajaan nasional” kerap disoroti sebagai narasi pembangunan yang ambisius. Pertumbuhan ekonomi, penguatan militer, dan aktivitas diplomatik memang terlihat menonjol secara statistik, namun menurut sebagian pihak, hal tersebut belum sepenuhnya berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat sehari-hari. Tantangan seperti kenaikan biaya hidup, tingkat pengangguran, dan pembatasan kebebasan sipil masih menjadi isu domestik. Di sisi lain, pendekatan yang dinilai tegas dalam hubungan luar negeri juga dikaitkan dengan meningkatnya pembatasan visa, pengawasan imigrasi yang lebih ketat, dan tumbuhnya sentimen negatif terhadap China di sejumlah negara.

Fenomena yang dianggap ironis oleh sebagian pengamat adalah bahwa warga negara yang diyakinkan mengenai posisi kuat negaranya di dunia internasional justru terkadang menghadapi perlakuan kurang menguntungkan saat melintas di perbatasan negara lain. Fokus PKC pada pengelolaan citra dan pengendalian internal dinilai telah membentuk sistem yang lebih menonjolkan pencapaian simbolis daripada membangun rasa hormat yang mendalam. Apabila kemajuan suatu negara terutama ditopang oleh pembatasan informasi, tekanan politik, dan pengelolaan opini publik, maka tantangan dan konsekuensinya kerap dialami langsung oleh warganya.

Krisis paspor China bukan hanya tentang perjalanan, melainkan tentang kepercayaan, martabat, dan kegagalan pemerintahan. PKC perlu mempertimbangkan dampak dari kebijakan yang dijalankannya. Alokasi dana besar untuk upaya pengakuan diplomatik, penggunaan retorika yang tegas, serta penerapan pengawasan di dalam negeri, dinilai oleh sebagian pihak sebagai cara yang tidak efektif membangun reputasi atau kredibilitas di tingkat global. Pendekatan tersebut berpotensi menimbulkan kesan terisolasinya China di panggung internasional dan dapat memengaruhi persepsi terhadap warganya.

 

Jika China benar-benar ingin dihormati secara internasional, ia harus mulai dengan menghormati warga negaranya sendiri. Itu berarti melindungi hak-hak mereka di luar negeri, mereformasi tata kelola dalam negeri, dan meninggalkan ilusi bahwa kekuasaan semata yang menuntut rasa hormat.

Namun, sampai ada perubahan, paspor China akan tetap dianggap sebagai “barang mewah termahal” yang memiliki nilai simbolis tinggi, namun dengan beban biaya dan kendala perjalanan yang cukup besar bagi pemiliknya.

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya