Ia juga mengingatkan tentang kesenjangan digital, serta risiko AI yang dapat membawa bias algoritmik, eksklusi bahasa, dan penyalahgunaan data budaya.
“Solusinya adalah pengembangan AI generatif yang terlokalisasi, dibangun dengan data dan nilai lokal. Model ini dapat melestarikan bahasa daerah, tradisi lisan, sekaligus menjaga kedaulatan teknologi kita. AI harus menjadi kekuatan yang memberdayakan, bukan yang meminggirkan,” tuturnya.
Pada sesi terakhir, di hadapan para Menteri Kebudayaan negara-negara APRC, Fadli menggarisbawahi bahwa budaya adalah kekuatan pemersatu dan penguat harmoni antar bangsa, baik di tingkat regional maupun global.
Ia menekankan peran Indonesia dalam diplomasi budaya, termasuk aktif mendorong berbagai nominasi warisan budaya di UNESCO bersama negara-negara sahabat, seperti Kebaya dengan empat negara ASEAN, Jaranan dengan Suriname, serta inisiatif baru tentang Rice Culture bersama ASEAN dan Korea Selatan.
“Budaya adalah jembatan dan penguat di tengah perbedaan, fondasi yang memperkuat jaringan sosial dan membangun perdamaian,” ucapnya.