Karena itu, Harris menyarankan pembahas RUU memperjelas definisi pasal-pasal kontroversial. Misalnya istilah “tidak seimbang” harus punya ukuran objektif, seperti laporan pajak, standar profesi, atau data ekonomi. Perlindungan kepada pihak ketiga dan ahli waris juga harus ditegaskan, agar harta orang beritikad baik tidak boleh dirampas.
“Pun demikian soal pembuktian. Harus tetap menjadi beban aparat penegak hukum. Karena siapa yang menuduh wajib membuktikan, bukan rakyat. Termasuk adanya putusan pengadilan independen sebagai syarat mutlak perampasan. Tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim,” tegas pria yang juga advokat itu.
Lebih lanjut, ia menekankan proses perampasan harus transparan dan akuntabel, serta terbuka bagi pengawasan media dan masyarakat. Negara juga wajib menyediakan bantuan hukum gratis, terutama bagi rakyat kecil yang terdampak.
“Terakhir, sosialisasi dan literasi hukum harus dikerjakan secara masif. Rakyat harus tahu hak-haknya, agar tidak mudah ditakut-takuti. Sebab ibarat pedang bermata dua, rakyat kecil bisa dikriminalisasi hanya karena lemah administrasi, sementara orang kaya bisa melindungi asetnya dengan pengacara dan dokumen,” pungkasnya.
 
(Awaludin)