Desakan mengundurkan diri bersama-sama sebagai wujud pertanggungjawaban moral akibat ulahnya yang hampir membuat negara ini terkoyak, bahkan nyaris mau "di-Nepal-kan".
"Jadi perlu diingat yang harus mundur bukan hanya Muh Affifuddin saja, namun semua Komioner KPU karena secara bersama-sama telah gagal dalam bekerja," tututrnya.
Keputusan itu sangat kontroversial karena salah satu tujuannya agar masyarakat tidak bisa membuka dokumen ijazah yang menjadi persyaratan capres dan cawapres dan terlihat sangat subyektif untuk memihak oknum tertentu, ternyata berimplikasi besar terhadap tertutupnya semua akses masyarakat terhadap 15 syarat lainnya yang seharusnya terbuka demi transparansi masyatakat yang sudah ada selama ini.
Roy Suryo menambahkan, dalam keputusan itu, sebelumnya KPU secara tidak masuk akal dan logika waras menyatakan ada konsekuensi bahaya dibukanya informasi dokumen persyaratan capres dan cawapres dalam tahapan pendaftaran, termasuk perihal ijazah. Ini jelas sebuah keberpihakan KPU terhadap Oknum Pejabat publik atau bekas Pejabat yang tidak mau transparan dan terbuka soal rekam jejaknya, di mana sangat mungkin memang palsu atau bermasalah.
"KPU sebelumnya mau keukeuh bahwa itu sesuai dengan ketentuan PKPU No 15 Tahun 2014 dan tertuang juga dalam PKPU No 22 Tahun 2018, namun konyolnya KPU malah lupa bahasa ada UUD tahun 1945 dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang jelas-jelas memiliki kedudukan di atasnya, namun mau seenaknya ditabrak dengan Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 ini," katanya.
Ke-16 dokumen persyaratan yang sempat dikecualikan KPU tersebut meliputi: