Ia menekankan, pengaturan kuota haji dalam UU No. 8 Tahun 2019 adalah refleksi konstitusionalisme Indonesia, menyeimbangkan keterbatasan eksternal (kuota dari Arab Saudi) dengan kebutuhan internal (hak warga negara).
Kemudian, pada Pasal 64 UU PIHU-Kuota Haji Khusus; Menetapkan alokasi rigid sebesar 8 persen dari kuota dasar bagi haji khusus. Norma ini, kata Prof Rudi, menjamin distributive justice tanpa mengganggu fleksibilitas kuota tambahan.
Rudy menegaskan, dari tiga pasal utama dalam UU PIHU membentuk kerangka normatif yang saling melengkapi, yakni Pasal 8 menghadirkan kepastian hukum dalam penetapan kuota dasar. Pasal 9 memberikan ruang adaptif untuk tambahan kuota.
Selanjutnya Pasal 64 menjamin keadilan distributif dengan mengunci proporsi haji khusus. "Dengan konstruksi hukum ini, kebijakan Menteri Agama terkait penetapan kuota tambahan tidak dapat disebut melawan hukum. Yang terpenting adalah memastikan keselamatan, kenyamanan, serta hak jamaah tetap menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan ibadah haji,” imbuhnya.
(Arief Setyadi )