JAKARTA - Setidaknya 24 orang tewas dan 47 lainnya luka-luka dalam protes menentang pemerintahan militer Myanmar setelah paralayang bermotor milik militer menjatuhkan bom ke arah kerumunan, kata juru bicara pemerintah di pengasingan. Insiden ini menjadi peristiwa berdarah terbaru dalam rangkaian kekerasan yang telah menewaskan ribuan orang sejak kudeta militer yang memicu perang saudara dan perlawanan bersenjata di Myanmar pada 2021.
Dilaporkan BBC, militer menyerang pada Senin (6/10/2025) malam ketika sekitar 100 orang berkumpul di kota Chaung U di Myanmar tengah untuk merayakan hari libur nasional. Ini adalah satu dari ratusan serangan udara serupa yang telah dilakukan tahun ini oleh angkatan bersenjata Myanmar.
Serangan pada Senin menargetkan sebuah kota di wilayah Sagaing, tempat orang-orang berkumpul pada Thadingyut, sebuah festival bulan purnama, untuk mengadakan acara peringatan dengan menyalakan lilin.
Serangan itu diselenggarakan sebagai protes damai terhadap wajib militer junta dan pemilihan umum nasional yang akan datang. Aksi tersebut juga menyerukan pembebasan tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin yang terpilih secara demokratis yang digulingkan dalam kudeta dan dipenjara.
Wilayah Sagaing telah menjadi medan pertempuran utama dalam perang tersebut, dengan sebagian besar wilayahnya berada di bawah kendali milisi sukarelawan.
Kelompok-kelompok ini, yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), juga menjalankan pemerintahan daerah. Seorang pejabat di PDF setempat mengatakan kepada BBC Burmese bahwa mereka telah menerima informasi tentang potensi serangan udara selama pertemuan Senin.
Mereka berusaha segera mengakhiri protes, tetapi paramotor — sebutan untuk paralayang di daerah tersebut — tiba di lokasi lebih awal dari perkiraan dan melakukan pengeboman.
Penduduk setempat mengatakan sulit untuk mengidentifikasi jenazah setelah kejadian.
"Anak-anak benar-benar tercabik-cabik," ujar seorang perempuan lain yang membantu mengorganisir acara tersebut kepada kantor berita AFP. Ia tidak berada di lokasi tetapi menghadiri pemakaman pada Selasa (7/10/2025) dan menambahkan bahwa mereka masih "mengumpulkan potongan-potongan tubuh."
Sanksi internasional selama beberapa tahun terakhir telah mempersulit para penguasa Myanmar untuk mendapatkan peralatan militer, meskipun masuknya teknologi baru-baru ini dari negara-negara seperti China dan Rusia tampaknya telah membantu membalikkan keadaan.
Myanmar dijadwalkan menyelenggarakan pemilihan umum pada Desember, yang merupakan pemilu pertama sejak kudeta 2021. Namun, para kritikus mengatakan pemilu tersebut tidak akan bebas dan adil, serta bertujuan untuk melegitimasi pemerintahan militer. Banyak partai oposisi telah dilarang, dan pemungutan suara kemungkinan hanya akan berlangsung di sekitar separuh wilayah negara, di wilayah yang dikuasai militer.
(Rahman Asmardika)