JAKARTA - Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan menilai pernyataan Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengenai target swasembada pangan dalam waktu 2–3 bulan ke depan perlu dibuktikan agar sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. Ia pun memberikan sejumlah catatan.
Menurut Daniel, swasembada pangan merupakan cita-cita nasional yang mulia. Namun, keberhasilan sektor pertanian tidak cukup diukur semata dari capaian angka produksi atau kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) di atas kertas.
“Bagi kami, persoalan utama pertanian nasional bukan hanya berapa banyak beras yang dipanen, tetapi seberapa kuat fondasi ekosistem pertanian kita untuk menopang ketahanan pangan secara berkelanjutan,” ujar Daniel Johan, Senin (13/10/2025).
“Maka, swasembada pangan harus nyata, bukan sekadar janji-janji atau angka politik,” imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman berkomitmen mengejar target Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan swasembada pangan dalam 2–3 bulan ke depan. Hal itu disampaikan Amran dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (9/10).
Amran menyebut total produksi beras Indonesia tahun ini telah mencapai 33,1 juta ton, dan menargetkan produksi bisa meningkat menjadi 34 juta ton pada akhir tahun.
Daniel mengapresiasi kenaikan produksi beras nasional tersebut. Namun, ia mengingatkan masih banyak petani yang menghadapi beban biaya produksi tinggi akibat harga pupuk, benih unggul, serta distribusi solar subsidi yang belum merata.
“Banyak daerah pertanian yang masih kesulitan mendapatkan pupuk subsidi tepat waktu, sementara harga eceran pupuk non-subsidi naik signifikan. Jadi, efisiensi biaya produksi penting untuk diatasi, karena jika tidak, daya saing petani kita akan terus tergerus,” ungkap Daniel.
“Perlu digarisbawahi, swasembada tidak akan berarti jika petani tetap hidup dalam ketidakpastian dan margin keuntungan yang tipis,” sambung legislator dari Dapil Kalimantan Barat I tersebut.
Daniel juga menyoroti tingginya ketergantungan sektor pertanian terhadap impor bahan baku seperti pupuk, pestisida, dan alat pertanian. Menurutnya, kemandirian pangan tidak bisa dicapai jika rantai pasok produksinya masih bergantung pada bahan impor.
“Pemerintah harus menyiapkan strategi substitusi impor dan memperkuat industri hulu pertanian dalam negeri agar ketahanan pangan benar-benar berdiri di atas kaki sendiri,” jelas Daniel.
Anggota Komisi IV DPR tersebut juga menilai bahwa curah hujan ekstrem dan pola musim yang tidak menentu tahun ini harus menjadi perhatian serius. Ia menyebut perubahan iklim merupakan ancaman nyata bagi stabilitas produksi pangan.
“Target swasembada tidak akan tercapai tanpa adaptasi iklim di sektor pertanian, misalnya melalui pembangunan embung, irigasi presisi, serta varietas benih tahan kekeringan dan banjir,” sebutnya.
“Pemerintah sering kali hanya menyoroti sisi produksi, tetapi melupakan investasi pada sistem irigasi dan konservasi lahan yang rusak,” imbuh Daniel.
Selain itu, Daniel mengingatkan bahwa lebih dari 60 persen petani Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian terus menurun.
“Swasembada bukan hanya soal hasil panen tahun ini, tetapi juga soal keberlanjutan generasi petani. Jika negara tidak serius menyediakan insentif dan akses tanah bagi petani muda, maka dalam 10–15 tahun ke depan kita bisa menghadapi krisis tenaga kerja pertanian,” pungkas Daniel.
(Awaludin)