JAKARTA - Sejarawan Bonnie Triyana mengupas tuntas makna, sejarah, hingga kriteria gelar pahlawan nasional. Bonnie menjelaskan, pahlawan berasal dari bahasa Sanskerta yang terbagi dari penggabungan dua suku kata, yakni Pahala dan Wan.
“Pahlawannya dari mana? Pahlawannya dari bahasa Sanskrit, Sanskerta, yang artinya pahala. Pahala itu artinya buah, hasil. Wan itu ditambahkan karena dia menunjukkan kepemilikan,” kata Bonnie, Rabu (5/11/2025).
“Jadi, orang yang menerima hasil sebagai akibat dari apa yang dia lakukan. Pahalawan dalam nada yang lebih positif, dia yang mendapatkan hasil dari perjuangannya,” sambungnya.
Menurutnya, gelar pahlawan nasional mulai diberikan pada tahun 1950-an. Ia menceritakan sejarah Indonesia mulai dari sebelum merdeka.
“Jadi gini, pada saat itu Indonesia itu baru merdeka. Kita, bangsa Indonesia, sebelum menjadi Indonesia itu hanya sekumpulan orang-orang dengan identitas, etnisitas, dan sukunya masing-masing. Orang Rangkas tidak pernah merasa orang Indonesia. Sebelum identitas keindonesiaan itu ditemukan dan diciptakan pada awal abad ke-20,” papar Bonnie.
“Abdul Muis ini pengarah, penulis. Dia seorang penulis, wartawan, aktivis politik, dan aktif di Syarikat Islam. Yang banyak menimbulkan kecurigaan Belanda, sehingga dia selalu dikuntit sama intelijen Belanda ke mana pun dia bergerak,” jelasnya.
Seiring waktu, pemilihan pahlawan juga mempertimbangkan keterwakilan daerah dan spektrum ideologi. Gelar pahlawan diberikan kepada KH Hasyim Asy’ari.
“Misalkan dari kalangan Islam ada KH Hasyim Asy’ari. Kemudian dari kalangan nasionalis banyak, Abdul Muis salah satunya. Dari kalangan yang paling spektrum kiri dulu masih ada komunis, ada Alimin, Tan Malaka,” tutur Bonnie.
Namun, proses ini tidak lepas dari kontroversi, seperti yang terjadi pada 2005 dengan pengangkatan Ida Anak Agung Gde Agung sebagai pahlawan. “Banyak masyarakat menyatakan protes. Kenapa orang yang pro-Belanda kok dipilih menjadi pahlawan nasional? Ramai,” kata Bonnie.
Bonnie juga menyoroti syarat-syarat pemberian gelar. “Nah, di dalam persyaratannya, gelar pahlawan itu sangat sempurna persyaratannya. Salah satu blue tier point, dia tidak boleh pernah terbukti di bidang lain, dan tidak boleh punya cacat yang bisa membuat nilai-nilai perjuangannya jadi berkuranglah, kira-kira gitu. Nah, itu syaratnya sempurna. Sedangkan manusia tempatnya salah. Ya kan?” ujarnya.
Menyikapi usulan gelar pahlawan untuk mantan Presiden Soeharto, Bonnie mengingatkan fakta sejarah masa lalu. “Dulu partai cuma ada tiga, disederhanakan. Maka reformasi merumuskan satu pemikiran bersama, boleh dong orang bikin partai lebih banyak,” katanya.
“Kemudian kebebasan berekspresi. Kalian sekarang mau ngomong apa saja di media sosial, diperbolehkan. Dulu memang tidak ada media sosial. Tetapi kalau kritik, dianggap kritiknya subversif, mengganggu, dan menurut tafsiran penguasa, dia bisa ditangkap, bahkan hilang. Itu fakta sejarah,” ujarnya.
(Arief Setyadi )