JAKARTA - Larangan penjualan lolos dalam salah satu pasal dalam Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) menuai pro dan kontra. Menanggapi itu, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Rizal Taufikurahman, menilai berbagai pelarangan tersebut bisa menekan aktivitas pedagang kecil dan memutus rantai ekonomi rakyat.
Menurut pandangannya, pasal-pasal pelarangan penjualan dalam Raperda KTR DKI Jakarta mengabaikan realitas sosial-ekonomi urban yang selama ini bertumpu pada perputaran sektor informal.
"Jangan lupa bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung. Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah," ujar Rizal di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Apalagi di tengah efisiensi transfer Dana Bagi Hasil (DBH) dari pusat ke pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, perlu menempuh strategi transisi fiskal yang gradual, di antaranya memaksimalkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk pemberdayaan dan pembangunan.
"Jadi, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Ranperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat," ujarnya.
Lebih lanjut, Rizal mengatakan Raperda KTR DKI Jakarta harus dibahas dengan pendekatan yang adaptif dan proporsional lebih efektif. "Yang berfokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap beri ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini inklusif dan tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru," pungkasnya.