Sementara itu, di antara jalan-jalan sekitar masjid, kedai-kedai kecil mulai menjajakan minuman hangat: teh mint, cokelat panas, kopi Arab dengan aroma kapulaga. Jamaah yang baru selesai dari sholat malam berhenti sejenak, menghangatkan tubuh dengan tegukan kecil sambil menikmati hembusan angin malam.
Senyum penjual yang ramah, tawaran kurma ajwa yang lembut, dan percakapan singkat antar jemaah membuat suasana musim dingin di Madinah terasa lebih manusiawi, dekat, dan bersahabat.
Kholil, pemuda asal Cianjur yang sudah sekira 8 tahun menetap di Madinah menceritakan apa saja yang harus dipersiapkan calon jamaah yang ingin umroh ke Madinah dan Makkah pada musim dingin atau bulan November, Desember, dan Januari.
"Musim dingin di Madinah itu kita harus fit, terutamanya banyak minum vitamin, jangan lupa bawa jaket biar enggak sakit. Madinah sekarang sudah ramai, enggak kayak dulu sesudah Covid-19. Jamaah sudah banyak yang datang," ujarnya di depan salah satu hotel depan Masjid Nabawi.
Namun ia juga mengingatkan risiko kesehatan yang kerap datang saat musim dingin. Ia mendapat laporan cukup banyak jamaah Indonesia yang sakit karena perbedaan suhu.
"Banyak yang sakit karena perubahan cuaca, ya batuk, pilek. Makanya banyakin vitamin kalau ingin umrah di musim dingin," ungkapnya
Madinah mengajarkan ibadah bukan hanya tentang fisik, tetapi tentang merendahkan hati di hadapan Allah dan merawat cinta kepada Rasulullah SAW. Di kota Nabi, manusia merasa lebih dilindungi, meski udara dingin merayap pelan melalui celah-celah baju. Di sini, dingin menjadi pengingat bahwa kehidupan akan selalu menghadirkan musim, tetapi ketenangan sejati hanya datang ketika hati berserah.
(Erha Aprili Ramadhoni)