Lebih lanjut, Eddy menekankan bahwa keberadaan pasal tersebut bukan soal kesetaraan di depan hukum (equality before the law), melainkan berkaitan dengan fungsi hukum pidana yang pada dasarnya bertujuan memberikan perlindungan.
“Hukum pidana itu melindungi individu, masyarakat, dan negara. Individu dilindungi nyawanya, hartanya, dan martabatnya. Negara dilindungi kedaulatan, pemerintahan, dan kehormatannya,” jelasnya.
Menurut Eddy, presiden dan wakil presiden merupakan simbol utama negara sehingga memiliki posisi berbeda dengan warga negara biasa. Oleh karena itu, perlindungan hukumnya juga diatur secara khusus dengan memberi pagar yang ketat agar pasal penghinaan terhadap presiden tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
“Dalam penjelasan pasal, secara tegas disebutkan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, maupun berdemokrasi. Kritik terhadap pemerintah, termasuk melalui unjuk rasa, dinyatakan tidak dilarang. Baca Pasal 318, itu jelas. Kritik tidak dilarang. Unjuk rasa adalah bentuk kritik yang sah,” tegasnya.
Selain itu, Eddy menyampaikan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP baru dikategorikan sebagai delik aduan absolut. Artinya, hanya presiden atau wakil presiden yang dapat melaporkan dugaan penghinaan tersebut.
“Yang bisa melapor hanya presidennya atau wakil presidennya. Tidak bisa orang lain,” paparnya.
Bahkan, KUHP baru juga mengatur alasan penghapusan pidana apabila pernyataan yang dianggap menghina disampaikan demi kepentingan umum.
“Kalau untuk kepentingan umum, termasuk pemberitaan pers, itu tidak bisa dikenakan pasal ini,” pungkas Eddy.
(Awaludin)