Kedua orangtua bercerai, membuat Soeharto harus berpindah asuhan. Bila sebelumnya ikut bersama ayahnya dan ibu tiri, menginjak usia empat tahun berpindah asuhan ke ibunya, Sukirah.
Hidup bersama dengan ibu kandung dan ayah tiri akhirnya dijalani sampai menginjak remaja. Berikut penuturan Soeharto seperti disampaikan dalam otobiografi Soeharto, Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya:
Pernah saya mengembala kerbau. Saya disuruh mengembala binatang setia itu dari rumah ke sawah oleh Mbah Atosudiro, ayah ibu saya. Suatu hari ketika saya membawa kerbau itu dari kandangnya ke sawah, dalam perjalanan, di pinggir sungai, kerbau terperosok dan masuk parit.
Saya tidak tahu, jalan mana yang sebaiknya ditempuh oleh kerbau itu. Saya pikir, dia akan bisa menemukan jalan yang menyelamatkannya lagi. Si kerbau turun ke sungai. Saya pun mengikutinya saja. Tahu-tahu sungai itu menyempit. Padahal tadi saya sudah melalui bagian sungai yang dalam. Dengan begitu, saya maju tidak bisa lagi, mundurpun susah. Maka saya pun menangis. Sebab saya ingat, saya ditunggu oleh Mbah saya. Jam tujuh saya mesti sudah ada di tempatnya, di sawah, sedang saya masih ada di sungai. Lagi pula saya menaruh kasihan kepada kerbau itu.
Selang beberapa lama datanglah suruhan Mbah saya. Ia bisa menemukan saya. Mungkin karena mendengar tangis saya.
Sekali waktu datang Ayah membawa seekor kambing untuk saya. Bukan main senangnya. Dan ternak itu menjadi sahabat yang tak kunjung saya lupakan.
Pada suatu hari, sewaktu Ibu Sukirah akan pergi ke pasar, saya ditinggali uang satu bil (setengah sen). Celaka menimpa saya. Uang itu tertelan. Saya menangis, lama menangis. Saya terasa takut dan disamping itu saya ditakut-takuti oleh anak-anak lain, bahwa uang itu akan nyangkut di dalam perut dan tidak akan keluar dengan seendirinya. Mungkin saja benar uang logam itu kemudian keluar lagi. Tetapi saya tidak ingat, apakah saya pernah menemukannya kembali.
Pada suatu hari saya sedang bermain di depan rumah Mbah Buyut Notosudiro, kakek ibu saya, bersama dengan Mas Darsono. Waktu itu Mbah Notosudiro sedang menjahit, membuat baju. Lalu kedengaran beliau memanggil saya. Saya setengah melompat, senang dipanggilnya. Saya terus dipanggilnya, "Kemari", katanya. Maka saya disuruhnya memakainya. Tetapi kemudian Mbah Notosudiro berkata lagi: "Lho iki Harto. Panggil Mas-mu Darsono."
Saya lari memenuhi perintah Mbah Buyut saya. Dan waktu Mas Darsono berdiri di depan Mbah Buyut, ia disuruh mencoba baju yang saya pakai. Saya lepaskan baju baru itu. Ternyata baju itu cukup baginya. Dan selanjutnya Mas Darsono disuruh memakai terus baju itu. Benar, terbukti pakaian itu memang untuknya.
Waktu itu saya tidak memakai kemeja. Hanya mengenakan celana saja. Hati berbisik, "Wah, Mbah Buyut ini lebih sayang kepada anak Bude, Mas Darsono, daripada kepada saya."
Mas Darsono sebetulnya anak orang yang sudah kaya, anak kakak ibu saya. Orang tua Mas Darsono itu sudah lebih mampu daripada orang tua saya. Tetapi, kok, yang diberi surjan itu malahan putu (cucu) Mbah yang sudah mempunyai baju. Saya merasa nista (hina). Saya nelangsa, sedih sekali. Waktu itu saya merasa,"Wah, hidup ini kok begini." Saya berpikir, kami sama-sama cicitnya, tetapi diperlakukan lain. Mas Darsono sudah mempunyai baju, sedangkan saya belum. Mengapa saya tidak dibuatkan, dan yang dibuatkan itu malah Mas Darsono ?
Saya ingat, mulai umur lima tahun saya memakai celana yang potongannya panjang sampai lutut, warna hitam, menciut mengecil di bagian bawah, merit, seperti yang biasa dipakai orang pergi ke sawah. Baru setelah sekolah saya bisa mengenakan celana dan kemeja, yang lebih lumayan. Ke sekolah saya pergi dengan mengenakan pakaian `bebet`, sabuk wolo, pakaian anak-anak Jawa waktu itu.
Saya ingat terus kepada seseorang yang jelek rupanya, merongos dan mengece, mencemooh saya. Ia itu teman main gundu. Tetapi umurnya sudah lebih tua daripada saya. Ia mengajak teman-teman lain agar mengece saya. Mereka memanggil-manggil saya dengan sebutan "Den bagus tahi mabul" (tahi kering) karena ada hubungan `sentono`, pengawas Keraton, maka mBah Notosudiro dan Ibi Sukirah masih dipanggil Den. Begitu juga saya sering dipanggil "Den". Padahal saya sendiri tidak mau dipanggil begitu. Saya katakan kepada teman-teman, bahwa mereka tidak perlu memanggil saya dengan "Den". Saya selalu menolak untuk dipanggil begitu. Tetapi mereka terus juga menjengkelkan saya.
Bagaimana ini, apakah mengejek atau mau bergurau saja dengan memanggil-manggil Den, Den bagus tahi mabul kepada saya ?
Saya lupa nama orang yang delapan tahun dan punya pikiran barangkali ia iri hati. Barangkali ia mengejek saya dan berpikir, mengapa saya anak orang melarat dipanggil-panggil Den juga. Saya jadi merasa sedih. Saya sebagai orang yang tidak punya, masih juga diejeknya. Tetapi saya tidak mengadu kepada siapa pun sewaktu mengalami kejadian ini.
Saya ingat, satu kali saya pernah berkelahi waktu kecil. Mula-mulanya, main-main, tetapi kemudian menjadi adu tinju. Waktu itu kami sedang bermain kelereng, main gundu. Dua-duanya akhirnya `nangis tidak menentu. Hanya satu kali itu saya pernah berkelahi.
Waktu akan masuk sekolah, saya disuruh melengkungkan dulu lengan saya di atas kepala dan memegang telinga. Begitu ukuran yang lazim waktu itu untuk bisa masuk sekolah : kalau bisa memegang kuping dengan cara begitu, kita bisa diterimanya.
Tetapi nasib saya menetapkan, saya harus berpindah-pindah sekolah. Mulanya di sekolah Desa Puluhan, di daerah Godean. Lalu pindah ke sekolah di Pedes, karena ibi bersama ayah tiri pindah rumah ke Kemusuk Kidul.
Daerah Wuryantoro sendiri tidak bisa dikategorikan sebagai daerah yang bertanah subur atau lebih makmur. Kehidupan petaninya tidak lebih baik dibandingkan dengan kehidupan di daerah Godean. Tetapi bibi saya, istri seorang mantri tani, Bapak Prawirowihardjo. Kehidupan paman saya itu jelas lebih baik daripada kehidupan seorang petani, dan bimbingan yang bisa diberikannya pasti lebih baik, bisa diandalkan daripada bimbingan yang saya peroleh di Kemusuk.