Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Bukan Salah Twenty One, Bioskop Tua Mati

Andi Wesal Saladin , Jurnalis-Selasa, 27 April 2010 |14:53 WIB
Bukan Salah Twenty One, Bioskop Tua Mati
Diratakan roda zaman: Lahan Bioskop Rivoli kini hanya tersisa puing-puing. Pada era 80-an tempat ini selalu ramai oleh penggemar film Bollywood.(foto:Andi Wesal Saladin)
A
A
A

JAKARTA – Masyarakat kini hampir tidak punya lagi bioskop yang bisa dimasuki hanya dengan merogoh kocek tak lebih dari Rp5 ribu. Bioskop yang kerap dinikmati kalangan masyarakat bawah ini satu persatu gulung layar, akibat mahalnya biaya operasi dan sepinya minat penonton.
 
Banyak kalangan menuding, bioskop-bioskop yang rata-rata hadir di era 70 dan 80an itu bangkrut karena digilas dominasi jaringan bioskop 21 yang lebih modern dan nyaman. Padahal, pasarnya jelas berbeda, bioskop lama menyasar kalangan menengah ke bawah, sementara bioskop 21 mengambil ceruk menengah ke atas.
 
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia Djonny Syarifuddin menyatakan bioskop-bioskop bawah ini memang sangat sulit bertahan; gaya hidup masyarakat sudah berbeda, katanya. Berikut petikan wawancara Okezone dan Djonny akhir pekan lalu di kantornya di Jalan Rasuna Said Kavling C 22 Kuningan Jakarta Selatan.
 
Kapan sih bioskop bawah mulai merosot?
 
Ketika 98 bioskop habis. Faktor pertama, televisi swasta. Pesawat televisi di Glodok, dan Pasar Senen, laku. Itu dinikmati oleh masyarakat, karena masyarakat bawah itu menghendaki hiburan yang praktis murah nggak bayar, mau apa saja ada di situ. Kemudian yang kedua VCD dan DVD bajakan.
 
Masuk bioskop Rp10 ribu, beli DVD Rp10 ribu dapat tiga. Yang ketiga, kondisi ekonomi merosot, keamanan, politik merosot , orang takut ke bioskop di pasar.
 
Bukan mati karena kalah persaingan dengan Bioskop 21?
 
Jadi bukan karena persaingan, masa bersaing. Karena pangsa pasarnya beda. Orang lihat TV cukup, tidak bayar. Masyarakat ke atas lebih ke life style.
 
Apa kira-kira yang harus dilakukan agar bioskop bawah ini dapat bertahan?
 
Yang pertama, distribusi film harus cepat. Kadang kan sampai bioskop bawah bisa 1 sampai 3 bulan. Dua, teknologi harus bagus, layar, proyektor, sound system harus bagus. Bagaimana suaranya mau bagus, film sekarang udah format digital, yang dipakai masih jadul, ya enggak keluar suaranya.
 
Listrik mahal. Jangan disamakan tarif listrik industri, karena yang nonton mau banyak atau sedikit bayarnya sama. Kemudian, pajak, di daerah ada yang bayar sampai 25%, 13%, 10%, itu masih besar. Enam, daya beli rendah. Tujuh, akuntabilitas dan manajemen yang baik, operatornya harus benar, krunya dan lain-lain.
 
Bagaimana peran pemerintah supaya bioskop bawah tetap bertahan?
 
Harus ada bantuan dari pemerintah dalam bentuk dana. Misal, setiap bioskop menengah kebawah di biayai untuk pembelian copy film seharga Rp10 juta.


Di Jakarta tinggal satu yang masih bertahan tapi sayangnya jadi arena prostitusi, tanggapan anda?
 
Itu ditutup saja. Tapi pemerintah yang harus tutup, karena yang member izin pemerintah jadI pemerintah yang seharusnya menertibkan.
 
Saat masih banyak bioskop bawah yang bertahan, rata-rata memutar film-fim bertema seks, begitu pula dengan bioskop yang masih ada saat ini, bagaimana menurut anda?
 
Tingkat pendidikan kita dilihat dari sini. Senang horor, senang seks. Moral pendidikan orang kita sampai di situ. Contoh ketika kita sedang nonton, pasti keterangan di akhir cerita seperti nama sutradara, editor, kru dan lain-lain tidak dilihat. Lain halnya dengan orang bule nonton film itu sampai habis, sebagai keseriusan melihat film secara keseluruhan. Karena pendidikan mereka sudah sampai di situ.

(Fitra Iskandar)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement