KASUS Tenaga Kerja Indonesia (TKI) nampaknya tak pernah habis dari tahun ke tahun. Ironisnya kasus terhadap pahlawan devisa ini terus meningkat seiring tidak adanya penyelesaian yang konkret dari pemerintah.
Peningkatan kasus ini tentu saja berdasarkan pada fakta yang ada. Tengok saja, berdasarkan catatan Migrant Care ternyata terdapat 5.336 kasus kekerasan terhadap TKI. Dari jumlah tersebut mayoritas dialami oleh tenaga kerja wanita. Tidak tanggung-tanggung kekerasan yang dialami para TKW tersebut berupa fisik dan non fisik. Mulai dari penyiksaan, pemerkosaan, sampai pada pembunuhan.
Untuk tahun 2010 banyak kasus yang terjadi pada TKI di beberapa negara seperti Malaysia, Arab. Selain itu kasus penganiayaan TKI juga pernah terjadi di Singapura. Kasus ini menimpa Tarinah yang mendapat kekerasan dari majikannya bernama Kassiammal V Sinnathamy.
Kekerasan majikan terhadap Tarinah adalah secara sengaja menginjak tangan Tarinah saat ia sedang melipat baju di sebuah kamar. Selain Kassiammal, putrinya Chandrakala Govindarajoo juga dituduh melakukan penyiksaan. Perempuan yang berprofesi sebagai pekerja lepas ini, dituduh telah menarik tangan kiri Tarinah yang menyebabkan TKI itu terjerembab ke lantai rumah mereka di Flat Choa Chu Kang Crescent, Singapura.
Sementara itu kasus lainnya adalah pelecehan seksual yang dialami Winfaidah yang bekerja sebagai TKI di Malaysia. Winfaidah mengaku dirinya disiksa dengan cara disiram air panas dan disetrika di bagian punggung hingga kulitnya mengelupas.
Tak hanya itu, dua majikannya juga memaksa perempuan asal Lampung itu melakukan hubungan seksual threesome. Majikan perempuannya bahkan mengancam akan memukuli jika Winfaidah tidak melayani nafsu bejat suaminya.
Banyaknya kasus yang menimpa TKI membuat Komisi IX pada bulan Febuari 2010 mendesak pemerintah untuk memberlakukan moratorium (penghentian sementara) pengiriman TKI ke salah satu negara yaitu Arab Saudi. Penyebab kasus TKI di Arab tentu saja karena tidak adanya nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) yang berorientasi pada perlindungan TKI.
Padahal MoU ini sangat penting dan jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan tegas dikhawatirkan makin banyak TKI yang diperlakukan tidak manusiawi. Sebab dengan adanya moratorium ini juga dimaksudkan untuk menekan Pemerintah Arab Saudi atau negara lainnya agar bisa bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia untuk membuat perjanjian bilateral yang melindungi TKI serta menjadi dasar menaikan nilai tawar pemerintah. Tidak hanya itu saja, adanya moratorium agar kinerja pemerintah soal penempatan perlindungan TKI bisa dievaluasi.
Namun seiring perjalanan, peningkatan kasus pada TKI terus meningkat. Tidak hanya berupa kasus kekerasan majikan terhadap TKI tetapi juga meningkatnya kasus TKI yang harus menjalani proses hukum. Bahkan Menteri Hukum dan HAM pernah menyampaikan permohonan resmi kepada pihak Menteri Luar Negeri Malaysia, terkait hukuman mati yang dijatuhkan tiga warga negara Indonesia di negara Malaysia.
Dalam surat permohonan resmi itu mengharapkan hukuman bagi tiga TKI ini dikurangi menjadi 20 tahun atau diekstradisi ke Indonesia. TKI tersebut adalah Parlan Dadeh, Bustaman bin Bukhari, dan Tarmizi. Ketiganya terancam hukuman mati di Malaysia karena terkait dengan kasus narkotika. Namun informasi yang beredar di kalangan media massa, terdapat sekitar 70 orang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di Malaysia.
Sementara itu di sisi lain ternyata Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) akan membuka penempatan baru untuk pengiriman tenaga kerja. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar mengatakan, awal April 2010 nanti pihaknya akan mengunjungi negara potensial sebagai negara untuk penempatan tenaga kerja baru.
Negara yang dimaksud seperti Libya, Qatar dan Lebanon. Pihaknya juga akan meningkatkan potensi tenaga kerja di Uni Emirat Arab yang selama ini sudah terjalin Jenis pekerjaan yang akan ditingkatkan ke negara penempatan baru itu yakni perawat dan pekerja konstruksi. Jenis pekerjaan formal, tegasnya, memang akan digalakkan untuk mengurangi sektor pekerja informal.
Menakertrans juga menyatakan, kategori sukses pengiriman tenaga kerja di luar negeri ialah memperkecil pengiriman tenaga kerja informal yang standar kompetensinya rendah. Pengiriman tenaga kerja informal, kata dia, akan semakin diminimalisir karena hanya semakin menambah masalah dalam pengirimannya, seperti pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh sebab itu untuk menambah potensi pendidikan bahasa Arab, Bahasa Inggris, keterampilan khusus dan budaya menjadi agenda wajib untuk dipelajari bagi calon tenaga kerja.
Mantan Wakil Ketua DPR ini menambahkan, negara-negara pengiriman yang sudah menjadi langganan pengiriman buruh migrant memang masih potensial. Akan tetapi banyak Memorandum of Understanding (MoU) yang belum disepakati. Selain itu, lapangan kerja di negara lama sudah semakin terbatas dan tidak potensial untuk buruh migrant Indonesia.
Alhasil, kasus kekerasan TKI terus terjadi. Salah satu kasus TKI yang saat ini masih segar dalam ingatan kita adalah kasus kekerasan terhadap Sumiati binti Salan Mustapa dan Kikim Komalasari. Dua TKI ini harus mengalami penyiksaan di negara Arab. Sumiati yang merupakan TKI asal Nusa Tenggara Barat ini mengalami penyiksaan hebat dan di luar batas perikemanuasian dari majikannya.
Tubuhnya yang nampak kurus ditemukan lunglai. Di samping itu juga ditemukan luka-luka mengerikan di sekujur tubuhnya. Kendati demikian, nasib Sumiati masih lebih baik dibandingkan dengan Kikim Komalasari. Kikim yang juga mencari peruntungan hidup di negara Arab harus bernasib malang. Dirinya ditemukan membeku dalam sebuah bak sampah.
Ironisnya, kasus ini tak pernah berhenti. Jika dilihat lebih lanjut ternyata banyak faktor yang melatarinya kasus TKI di luar negeri. Minimnya perlindungan buruh migran ini salah satunya tidak lepas dari lemahnya bargaining position diplomasi pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak warga negaranya. Di antaranya adalah kurangnya diplomasi karena tidak termasuk negara yang memiliki perjanjian dalan perlindungan hak pekerja asing. Selain itu, Indonesia sebagai negara pengirim TKI belum meratifikasi konvensi internasional mengenai HAM termasuk buruh migrant. Kondisi ini semakin diperparah di mana negara penempatan TKI juga tidak memiliki instrument hukum internasional itu.
Di samping itu ketegasan pemerintah dalam penanganan kasus TKI di luar negeri juga sangat diperlukan untuk mengangkat harga diri bangsa. Sebab seperti diketahui banyak kebijakan pemerintah yang tidak memberikan solusi yang konkret. Lihat saja, pada kasus Sumiati, tiba-tiba tanpa konsep yang jelas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ingin memberikan handphone yang tentu saja tidak bisa memberikan jaminan perlindungan TKI. Hal ini terkesan jika pemerintah ingin cepat menyelesaikan kasus TKI dengan cepat tanpa melihat akar permasalahan yang ada.
Terlebih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengungkapkan dari 4 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, hanya 0,1 persen yang bermasalah. Berarti sebanyak 99,1 persen TKI tidak memiliki masalah. Permasalahan itu di antaranya, keterlambatan pembayaran, perlakuan kurang baik sampai dengan kekersan fisik, hingga kekerasan seksual.
Pernyataan SBY itu pun mendapat reaksi dari Migrant Care. Migrant Care lewat Direktur Anis Hidayah, mempertanyakan data Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyebutkan permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) hanya 0,1 persen.
Menurutnya, masalah TKI itu tidak bisa dilihat dari segi angka atau statistik karena TKI adalah manusia dan bukan barang. Permasalahan itu juga harus dilihat dari kondisi sosialnya karena kenyataannya masih banyak masalah-masalah TKI yang belum bisa diatasi pemerintah.
Anis juga menegaskan SBY juga harus bisa melihat permasalahan TKI dari sisi manusiawi bukan angka. Karena jika dilihat dari angka maka data yang diperoleh dari Migrant Care terdapat 45 ribu korban kasus kekerasan.
Masalah lainnya yang perlu ketegasan dari pemerintah adalah pengawasan dan sanksi yang ketat dari ribuan PJTKI terutama PJTKI ilegal. Karena di sinilah sebenarnya akar permasalahan bagi para TKI di samping masalah lainnya yang disebutkan di atas. Jika pengawasan terhadap PJTKI ilegal serta dilakukannya sosialisasi soal perekrutan TKI di daerah terpencil bisa dilakukan dengan baik, niscaya akan mengurangi persoalan TKI.
Namun persoalannya sampai kapan persoalan TKI yang menyangkut harga diri bangsa ini akan berakhir? Tentu saja kita tunggu keberanian dan ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan kasus pahlawan devisa ini.
(Hariyanto Kurniawan)