JAKARTA - Memutar otak, begitulah yang dilakukan warga Kampung Apung, Kapuk, Kelurahan Cengkareng, Jakarta Barat, untuk bertahan hidup. Banjir dan genangan air yang tak pernah surut telah menenggelamkan tanah kelahirannya, sehingga memaksa warga yang masih bertahan tinggal di rumah panggung terapung, terbuat dari bambu dan kayu.
Memang hidup dalam kawasan yang mirip kubangan raksasa penuh sampah, jauh dari kesan nyaman dan aman. Tapi, tak ada pilihan lain bagi sedikitnya 100-an KK warga Kampung Apung mencoba bersahabat dengan alam yang tidak bersahabat karena bahaya mengintai setiap saat.
Untuk menopang hidup, mereka terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik yang banyak berdiri di sekitar tempat tinggalnya. Sebagian lainnya, menggantungkan hidup dengan menyulap kubangan-kubangan yang tepat berada di bawah dan di depan rumah apung menjadi kolam-kolam ikan lele. Dari berternak lele inilah, warga Kampung Apung belasan tahun menjalani hidup terapung.
Muncul juga keinginan menjadikan kawasan yang dulunya dataran tinggi ini sebagai rintisan wisata Kampung Apung. Mereka berharap jika impian ini terealisasi bisa membuat taraf hidup warga setempat meningkat, karena selama ini nyaris berada di garis kemiskinan.
Wisata Kampung Apung tidak seperti kampung apung di sepanjang aliran Sungai Mahakam, Kalimantan. Warga mengusulkan konsep wisata ilmu di Kampung Apung. “Kami setuju jika Kampung Apung dijadikan objek wisata, itu sangat bagus. Namun apa itu mungkin bisa?” ungkap Ketua RW 01 Kelurahan Kapuk Juhri kepada okezone, baru-baru ini.
Menurut Juhri, masyarakat sudah memiliki konsep dan tawaran yang ingin diajukan kepada pihak terkait. “Kalau kami punya konsep dan tawaran seperti wisata ilmu, tidak hanya wisata Kampung Apung saja,” tandasnya.
Juhri memaparkan, bagaimana konsep yang disodorkannya yaitu wisata ilmu, dengan cara mengembangbiakan ikan lele, mengelola sampah, dan lain-lain. Harapannya, Kampung Apung menjadi kampung percontohan yang peduli terhadap kondisi lingkungan yang rusak akibat dampak masifnya pembanguna.
Kampung Apung ini ibaratnya cekungan besar yang berada di tengah-tengah belantara bangunan beton yang menghujam ke bumi dan menjulang ke atas. Tak pelak air hujan dan luapan air banjir terperangkap lantaran tidak ada sistem drainasi. Sementara perumahan elit, pabrik, pusat perbelanjaan dengan sistem pompanya membebaskan kawasan tersebut dari ancaman banjir.
Salah satu warga yang berhasil membudidayakan ikan lele adalah Ade. Dia memanfaatkan air banjir di depan rumah dan hasilnya pun cukup memuaskan. Kata Ade, banyak tumpukan sampah yang membuat dasarnya kosong lalu dibuat kolam-kolam lele. “Lumayanlah buat penghasilan kami dari pada enggak ada sama sekali,” ujarnya.
Saat ini peternak ikan lele di Kampung Apung juga sudah membuat komunitas. Sudah ada 50 lebih kolam lele, milik dari tujuh belas warga. Masing-masing kolam berukuran 2x3 meter. Selain berkelompok, mereka membentuk komunitas petani lele. Warga bergiliran memberi makan, memanen lele, dan menjualnya ke pelanggan.
Menurut Ade, pendapatan dari ternak lele ini bisa mencapai hingga Rp1 juta dalam tiga bulan panen. Banyak warga yang ingin membeli lele dan datang ke sana. Selain lalat, nyamuk juga berkurang dengan adanya kolam lele ini. “Ada banyak nilai ekonomisnya, selain kesehatan jadi lebih baik lagi, banyak masyarakat yang tertarik,” ujar Ade.
Hal senada diutarakan Ketua RT 10 Rudi Suhandi. Menurutnya, dengan banyaknya warga yang beternak lele setidaknya dapat meningkatkan taraf hidup mereka. "Hasil yang didapat warga dengan membudidayakan lele dapat dijadikan salah satu penghasilan,” ujar Rudi yang juga pembina komunitas peternak ikan lele Kampung Apung.
Sukses dari berternak lele tidak hanya dirasakan warga Kampung Apung. Mereka juga menawarkan solusi ini ke kampung-kampung terapung di sekitarnya, yaitu warga di Kapuk Muara. Hasilnya, banyak masyarakat yang mencotoh komunitas peternak ikan lele Kampung Apung.
Ya, ternyata di balik musibah masih banyak hikmah yang didapat jika mau berbuat hal positif dari alam sekitar. Alam tergantung pada manusia itu sendiri, ramah pada lingkungan, alam pun akan memberikan berkah bagi kelangsungan umat manusia. Tapi sebaliknya, akan berujung musibah atau bencana jika tangan-tangan manusia merusak alam.
(Dadan Muhammad Ramdan)