JAKARTA - Pengusiran warga dari kawasan Register 45, Kabupaten Mesuji, Lampung, dinilai mengadu domba rakyat dengan rakyat. Pasalnya, pengusiran oleh Tim Kerja Perlindungan Hutan atau Tim Terpadu melibatkan warga sipil. Sehingga, dikhawatirkan dapat memicu bentrok horizontal sesama warga.
Humas Persatuan Petani Moro Moro Way Serdang (PPMWS), Wayan, menyayangkan pelibatan warga sipil dari kampung-kampung yang ada di Mesuji untuk ikut mengusir para penghuni Register 45. Menurutnya, tindakan tersebut rentan dengan bentrok horisontal. Sebab, lebih dari 70 persen keterlibatan warga sipil dalam komposisi Tim Terpadu. "Warga sipil ini tidak terlatih dan rentan terpancing emosinya. Akhirnya, rakyat diadu dengan rakyat," kata Wayan melalui keterangan tertulisnya, Rabu (29/2/2012).
Sekedar diketahui, hari ini merupakan tenggat waktu bagi warga untuk keluar dari kawasan Register 45. Namun, usaha Tim Terpadu mengusir mereka gagal. Pasalnya, warga yang sebagian besar petani itu mempersenjatai dirinya dengan parang, golok, dan bambu runcing. Akhirnya, Tim Terpadu yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP itu mundur untuk menghindari bentrokan. Belum diketahui kapan mereka kembali mengusir para penghuni kawasan Register 45.
PPMWS menduga terdapat aliran dana perusahaan untuk pengerahan massa. Ditengarai warga sipil yang terlibat pengusiran mendapatkan 'uang lelah' selama menertibkan kawasan Register 45. Untuk itu, mereka mempertanyakan sikap pemerintah yang dinilai tidak konsisten dalam penegakan hukum. Pasalnya, pelapor kasus Mesuji ke Komisi III DPR, Wayan Sukadana, yang dituding sebagai penggerak perambahan hutan kini, menjadi bagian Tim Terpadu. "Ini kan aneh," tukas Wayan.
Organisasi petani itu menyerukan penyelesaian damai dan dialog terkait rencana pengusiran warga yang disebut perambah di kawasan Hutan Register 45. PPMWS meminta pemerintah mengedepankan cara-cara damai, demokratis, dan beradab dalam menyelesaikan persoalan tersebut. "Inti masalahnya adalah monopoli atas tanah dan pengelolaan sumber-sumber agraria," sebut Wayan.
Dia menambahkan, warga di Mesuji kerap mengalami diskriminasi. Hukum begitu mudah menjangkau rakyat. Sebaliknya, bila perusahaan yang melanggar terkesan permisif. Pihaknya mendesak pemerintah segera mencari jalan keluarnya. "Bukankah hukum dibuat untuk manusia? Kami mendambakan hukum yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi rakyatnya seperti cita-cita pembentukan bangsa ini," tandas petani itu.
(Insaf Albert Tarigan)