JAKARTA - Putusan sebagian Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pemilu, tidak serta merta membuat uji materi atau judicial review yang diajukan pemohon terpuaskan.
Menurut Sekertaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Didik Supriyanto, putusan MK tersebut merupakan musibah nasional bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, jika ada partai yang mempunyai wakilnya di Senayan tidak lolos maka kader mereka merasa tidak ada yang mewakili.
"Maka hasil pemilu yang pesertanya tidak ada lagi dan tidak ada yang mewakili mereka hal ini akan menjadikan musibah besar yang hasilnya bukan Indonesia lagi," kata Didik kepada wartawan, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (28/8/2012).
Selain itu, kata dia, akibat putusan MK ini para pembuat UU yang partainya sesuai dengan UU Pemilu tidak mengikuti verifikasi terpaksa ikut verifikasi faktual di KPU.
"Yang jelas dirugikan pembuat UU, karena mereka merasa tidak perlu diverifikasi dan tidak mempersiapkan diri. Jika ini diverifikasi dan saya rasa waktunya tidak mungkin terkejar," tuturnya.
Didik menuturkan penyebab musibah nasional juga dikarenakan MK tidak konsisten dengan putusannya sendiri. Padahal, kata Didik, pada 2009 lalu MK sudah menjamin parpol yang usdah ikut pemilu sebelumbnya dapat ikut kembali pada pemilu selanjutnya.
Supaya putusan ini tidak menjadi musibah nasional, sambung Didik, harus ada konsensus tingkat nasional yang diadakan semua partai dan KPU harus mengubah peraturan dengan memperpanjang waktu verifikasi.
"Jalan keluarnya pertama harus ada kosensus, KPU harus mengubah peraturan KPU memberikan tenggang waktu yang cukup dan persyaratan yang tidak terlalu berat," imbuhnya.
Sebelumnya, MK akhirnya memutuskan sebagian terkait gugatan 22 Parpol, Partai Nasdem, dan Perludem tentang UU Pemilu. Dalam amar putusannya MK memerintahkan agar semua parpol baik parpol parlemen, non parlemen dan baru mengikuti verifikasi di KPU. Selain itu, MK juga memutuskan parliamentary threshold sebesar 3,5 persen diterapkan pada pemilihan anggota DPR saja. (ctr).
(Ahmad Dani)