BANDA ACEH- Larangan duduk mengangkang bagi perempuan saat dibonceng sepeda motor yang dihubungan dengan upaya menegakkan syariat Islam, nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh di Kota Lhokseumawe, dinilai sebagai pembodohan publik.
Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) menilai Pemkot Lhokseumawe telah meniru cara bersyariah taliban di Pakistan dan Pemerintah Arab Saudi, bukan terinspirasi dari Islam kultural dan sufistik Aceh.
"Ini sebagai pembodohan publik karena tidak ada satupun hukum syariat atau fiqih sepanjang perkembangan studi pengetahuan Islam yang berbicara tentang larangan duduk mengangkang bagi perempuan dalam berkendaraan," kata Juru Bicara JMSPS, Affan Ramli, di Banda Aceh, Sabtu (12/1/2013).
Demikian juga, kata Affan, tidak ada satupun adat Aceh baik adat istiadat maupun hukum adat yang melarang perempuan duduk mengangkang di kendaraan.
Affan Ramli mengatakan tentang tata cara duduk baik laki-laki maupun perempuan di tempat manapun, di rumah atau di kendaraan sepenuhnya bagian dari sopan santun lokal yang tidak punya ukuran universal.
“Sopan santun cara duduk tidak pernah diatur dalam aturan pemerintah sepanjang sejarah Aceh, itu sepenuhnya dibentuk melalui pendidikan dan kebiasaan,” kata Affan.
Menurutnya Pemkot Lhokseumawe berfikir semua hal yg dianggap persoalan dapat diselesaikan dengan aturan pemerintah. Sayangnya pemerintahan ini pun tidak tahu cara membuat aturan yang memiliki dasar hukum dan dapat diimplementasikan. "Sehingga seruan ini dari perspektif kajian hukum tidak berguna dan tidak bisa diimplementasikan," ujar Affan.
Malah sebaliknya aturan ini membuka ruang yang besar bagi terjadinya kekerasan dan perlakuan yang tidak senonoh oleh kelompok-kelompok masyarakat ekstrim atau fanatik, terhadap perempuan-perempuan yang mengabaikan seruan larangan duduk mengangkang saat dibonceng. "Apakah Pemkot Lhok bertanggung jawab atas segala dampak negatif atas seruan ini?," tanya Affan.
Affan menambahkan, jika Pemkot Lhokseumawe ingin menghidupkan syariat Islam dan adat istiadat Aceh, seharusnya Pemkot belajar pada model-model pembumian syariat Islam Aceh di masa lalu, yang telah berhasil menerapkan syariat secara kaffah dengan menghidupkan akhlaq islami dan sopan santun melalui pendidikan dan kebudayaan.
Dia berpendapat tampaknya Pemkot meniru cara bersyariah taliban di Pakistan dan Pemerintah Arab Saudi, bukan terinspirasi dari Islam kultural dan sufistik Aceh. “Taliban Pakistan melarang perempuan sekolah, Pemerintah Saudi melarang perempuan menyetir mobil dan Pemkot Lhokseumawe dengan jiwa dan semangat yang sama melarang perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor,” imbuh Affan.
Karena itu JMSPS mengimbau masyarakat Lhokseumawe untuk mengabaikan seruan bersama itu agar, menjadi pembelajaran di masa yang akan datang bagi Pemkot untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang dan cerdas ketika ingin membuat aturan atau imbauan, apalagi jika aturan itu terkait syariat dan adat Aceh.
(Stefanus Yugo Hindarto)