JAKARTA - Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hemahahua, menilai efek jera yang ditimbulkan dari pencabutan hak politik warga negara tidak akan bertahan lama. Pasalnya, masyarakat Indonesia memiliki budaya memori yang jangka waktunya pendek alias mudah lupa.
“Itu ada efek jeranya, tapi tidak akan bertahan lama. Karena masyarakat Indonesia budayanya memorinya pendek. Misalnya, kita baru tangkap Ketua MK, baru beberapa bulan sekarang Jaksa Kejaksaan Negeri. Berarti ini memori pendek sekali. Mereka tertangkap dekat sekali. Artinya hukuman hanya bagi mereka. Nanti setelahnya sudah tidak ada efeknya lagi,” kata Abdullah saat berbincang dengan Okezone, Jumat (20/12/2013).
Abdullah menjelaskan, efek jera bagi para koruptor harus diikuti dengan perubahan sistem dan undang-undang. Dia mencontohkan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilpres sangat kondusif untuk melakukanmoney politic.
“Ini karena biaya caleg, cagub, bupati, capres dalam pemilu terlalu mahal sehingga dengan begitu mungkin ada efek jeranya,” terangnya.
Di sisi lain, kata Abdullah, yang merekayasa menyuap belum tentu calon itu sendiri karena sindikat untuk menyuap demi mendulang suara, banyak melibatkan sejumlah kalangan termasuk tim sukses. “Bisa jadi dia yang jadi korban,” tuturnya.
Kendati demikian, meski menimbulkan efek jera yang singkat, Abdullah setuju dengan penerapan kebijakan pencabutan hak politik warga negara bagi seorang koruptor. ”Saya setuju sekali. Tapi sekali lagi, selain tindakan secara undang-undang, harus ada juga tindakan hukuman sosial pada mereka,” jelasnya.