JAKARTA - Peraturan Pemerintah Nomor 61/2014 tentang legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan terus menuai kontroversi. Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menilai PP yang melegalkan aborsi bukan solusi.
Kata Devie, sejatinya pemerintah menerbitkan peraturan yang mencegah pergaulan bebas agar remaja tidak terjerumus pada hubungan pranikah yang berujung pengguguran kandungan.
"Ini persoalan sosial, kita sebagai elemen bangsa justru harus melindungi anak - anak kita agar tak terjerumus pada seks bebas, jadi tidak usah pikir soal aborsi, pengawasan secara serius agar berhasil," kata Devie di Depok, Jumat (15/08/2014).
Devie khawatir PP aborsi ini menjadi celah bagi remaja dan justru menjadi 'budaya baru' di kalangan remaja. Jika pun tetap dijalankan, tegas Devie, diperlukan keseriusan penyelidikan dan penyidikan dari aparat Kepolisian untuk membuktikan apakah korban betul-betul akibat perkosaan atau suka sama suka.
"Aborsi jangan jadi 'trend', di sini perlu keseriusan aparat penegak hukum apakah yang bersangkutan berbohong atau memberikan keterangan palsu bahwa dia diperkosa, jika berbohong maka harus diberikan hukuman lebih berat lagi," tegasnya.
Apalagi ketika dalam Undang-Undang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak yang berusia sejak dalam kandungan hingga usia 18 tahun wajib dilindungi negara. Hal ini semestinya membuat seluruh pemangku kepentingan duduk bersama kembali mempertimbangkan PP tersebut, dan wajib dievaluasi ulang.
"Perlu kecermatan luar biasa pemerintah menyelesaikan ini, ahli hukum membahas aturan satu dan yang lainnya harus dilibatkan jangan sampai menimbulkan masalah sosial baru di masyarakat atau aturan tumpang tindih, pemerintah harus evaluasi dan duduk bersama, ini sangat mungkin dikaji ulang," tegasnya.
(Dede Suryana)