Sedangkan mengenai cara pemberhentian diatur dalam Pasal 39,41,42 Tatib DPR yang membatasi pemberhentian hanya bisa dilakukan jika diajukan oleh Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) atau partai politik dimana pimpinan DPR tersebut berasal.
Sampai saat ini MKD dan partai politik juga tidak pernah mengajukan proses pemberhentian salah satu atau seluruh pimpinan DPR hasil rapat paripurna 2 Oktober 2014 lalu. “Cara pemberhentian yang dilakukan oleh politisi KIH dengan menggelar apa yang mereka sebut rapat paripurna tentu tidak dapat dibenarkan,” Sufmi menambahkan.
Selain tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan, secara politik tindakan politisi KIH juga mengandung sejumlah inkonsistensi. Yang pertama pemilihan Pimpinan DPR versi KIH tidak konsisten dengan “isu utama” mereka terhadap UU MD3 sendiri yaitu pemenuhan azas proporsionalitas. Selama ini mereka menuntut agar partai pemenang pemilu-lah yang berhak menempatkan kader mereka sebagai Ketua DPR.
“Nyatanya mereka memilih Ida Fauziyah dari PKB, partai peraih kursi terbanyak keenam sebagai Ketua DPR versi mereka. Seharusnya jika mereka mau konsisten, maka ketua DPR versi mereka adalah kader PDIP,” ulasnya.

Poin kedua adalah pengabaian putusan MK dalam uji materiil UU MD3 dimana mereka sendiri berstatus sebagai pemohon. Pada saat MK belum memutuskan perkara tersebut mereka ngotot meminta pemilihan pimpinan DPR harus dilakukan setelah keluarnya putusan MK, namun setelah MK mengeluarkan putusan yang menolak permohonan mereka, mereka tetap saja menolak UU MD3.