Sementara di satu sisi, satuan polisi dan TNI mulai sedikit demi sedikit memasuki Yogyakarta, hingga puncaknya pada 29 Juni yang acap dikenal sebagai peristiwa “Yogya Kembali”.
Bung Tomo satu di antara sejumlah tokoh yang sedari awal sudah memasuki Yogyakarta. Putra Kartawan Tjiptowidjojo itu kemudian coba mendatangi kantor Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB IX) dengan tujuan mendapatkan posisi sebagai pegawai pemerintah.
Sayangnya, Sultan HB IX seolah ‘cuek’ dan menyatakan tak punya lowongan apapun buat Bung Tomo. Ternyata, nasib pejuang tak hanya terabaikan di masa sekarang, tapi tak lama setelah Belanda keluar Ibu Kota pun juga sudah terjadi.
“Seharian aku berdiri bersender di tembok kantor Sri Sultan. Baru tengah hari aku diterima beliau dan dengan menyesal, beliau berkata tidak ada lowongan untukku,” kesal Bung Tomo seperti diceritakan sang istri, Sulistina Sutomo dalam buku ‘Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu’.
“Dengar ya, mulai detik ini aku tak mau meminta-minta jadi pegawai! Tahu tidak, yang menentukan Republik ini merdeka bukan karena diplomasi saja, tapi juga ini!,” serunya sembari mengacungkan jari telunjuknya.
Tak berapa lama setelah ‘luntang-lantung’ tanpa pekerjaan, Bung Tomo pilih masuk dunia politik. Laskar BPRI yang dipimpinnya “disulap” jadi Partai Rakyat Indonesia. Dari situ, Bung Tomo mulai kenal dekat dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Mayjen Bambang Soegeng dan pastinya Presiden Soekarno.