"Materi pasal penghinaan tersebut bisa menjadi 'bumerang' bagi pelaksanaan hak-hak konstitusional warga negara, utamanya hak mengeluarkan pendapat dan hak berekspresi," tegas Nasef.
Menurutnya, sejarah ketatanegaraan Indonesia, khususnya pada masa orde baru, telah menunjukkan batapa berbahayanya pasal penghinaan presiden bagi keberlangsungan hak dan kebebasan berekspresi warga negara.
"Pasal tersebut berpotensi merusak iklim demokrasi yang sedang dikonsolidasikan," terangnya.
Namun demikian, kata Nasef, bukan berarti segala bentuk penghinaan terhadap presiden diperbolehkan. Sebagai simbol negara tentu, harkat dan martabat presiden harus tetap dijunjung tinggi.
"Saya kira Instrumen perundang-undangan telah mengatur soal itu, sehingga bukan berarti ketika pasal penghinaan presiden tidak dimasukkan dalam RUU KUHP, berbagai bentuk penghinaan presiden tidak bisa diproses secara hukum," tutur Nasef.
(Fiddy Anggriawan )