JAKARTA – Maraknya isu terkait mahar politik sebagai pendanaan partai dalam Pilkada serentak tahun 2015, ICW mendorong Bawaslu untuk bergerak cepat memproses pelaku politik uang yang memperdagangkan dukungan kepada salah satu kandidat.
Koordinator Divisi Politik Korupsi ICW, Donal Fariz mengatakan, ada beberapa hal yang perlu digaribawahi terkait mahar politik ini. Pertama, bahwa mahar politik menjelang Pilkada bukan sekadar isapan jempol. Praktik ini benar terjadi bahkan menjadi fenomena yang merata di seluruh Indonesia.
"Yang kedua, praktik jual beli kursi juga terjadi, dan partai politik menjadi aktor yang aktif melakukan pemerasan terhadap bakal calon kepala daerah," kata Donal di Sekretariat ICW, di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (12/8/2015).
Praktik mahar politik ini, menurut Donal sama bahayanya dengan isu calon kepala daerah boneka dan lebih krusial dari persoalan calon tunggal.
"Inilah ancaman terhadap demokrasi kita. Ancaman penyelenggaraan tata kelola pemerintahan daerah yang bersih," katanya.
Sementara, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan, Bawaslu cenderung tidak reaktif terhadap dugaan adanya praktik mahar politik dalam Pilkada serentak Desember mendatang, padahal pelaku mahar politik dapat dipidanakan.
"Bawaslu mengatakan tidak ada dasar hukum untuk memproses pelaku mahar politik secara pidana. Kami menemukan adanya dua ayat dalam pasal 47 UU Pilkada yang mengatur dasar hukum tersebut," kata Titi.
Titi mengatakan, dalam Pasal 47 sangat jelas menyebutkan larangan adanya imbalan terhadap partai besera sanksi hukum jika dilakukan.
"Sanksi pidana itu bukan saja hukuman badan atau kurungan. Denda juga termasuk sanki pidana, dan ini merupakan ranah Bawaslu untuk menindak," lanjut Titi.
Bahkan, bila ditemukan penerima merupakan penyelenggara negara, Bawaslu dapat bekerja sama dengan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan untuk memproses UU Tindak Pidana Korupsi dengan pasal-pasal suap.
Dua ayat dalam Pasal 47 UU Nomor 8 tahun 2015 berbunyi:
(1) Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wali Kota.
(2) Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalab sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima. (fds)
(Muhammad Saifullah )