Sudah sembilan tahun jadi wartawan, kesejahteraan belum berpihak padanya. Karir Alfian banyak dilalui tanpa ikatan kontrak dan status gaji yang jelas. Dua tahun lalu, saat masih bekerja di sebuah media lokal, enam bulan gajinya tak dibayar. Karena tak tahan dengan perilaku manajemen perusahaan, ia keluar. Tak ada pesangon untuknya.
Dalam setahun terakhir Alfian mengadu nasib di sebuah media online berpusat di Jakarta. Tugasnya memasok berita-berita dari Aceh. Meski sudah lulus uji kompetensi jurnalis, nasibnya tak berubah. Statusnya masih prajurit alias kontributor, pangkat terendah dalam karir jurnalistik.
Jangankan surat kontrak, kartu pengenal (id card) dari medianya saja tak dikasih. Ia meliput beragam isu, dan terjun ke berbagai situasi di Aceh hanya mengandalkan kartu keanggotaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Padahal bertugas di daerah bekas konflik dan rawan bencana seperti Aceh risikonya besar.
Alfian tak punya pendapatan tetap. Gajinya dibayar dari berita yang dihasilkan. Itu pun kalau beritanya dimuat. Jika tidak, tak ada bayaran, sekalipun sudah mengeluarkan biaya untuk transportasi atau pulsa telepon waktu liputan. Situasi menyulitkannya mendapat setara Upah Minimum Provinsi Aceh Rp1,9 juta tiap bulan.
Undang-Undang mengamanahkan pemberi kerja harus memberi jaminan sosial bagi pekerjanya. Tapi perusahaan medianya belum mendaftarkan Alfian sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Artinya ia belum memiliki jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, tabungan hari tua, jaminan pensiun maupun kematian.