Mekanisme demikian, lanjut Suhartoyo, menurut mahkamah lebih demokratis dibandingkan dengan menyatakan “menang secara aklamasi” tanpa meminta pendapat rakyat (pemilih) jika calon tidak memiliki pesaing sebagaimana ditunjukkan dalam hasil studi pemohon yang terjadi di berbagai negara seperti Amerika Serikat (dalam pemilihan anggota house dan senat), di Inggris, Kanada, Skotlandia (untuk pemilihan anggota parlemen), Islandia (untuk pemilihan presiden), dan Singapura (untuk pemilihan presiden dan parlemen).
Sebelumnya, Effendi Gazali, memberikan perbandingan di beberapa negara, jika terdapat calon atau pasangan calon tunggal dengan konteks pemilu legislatif senat serta juga pemilu presiden. Pemilihan tidak dilangsungkan dan calon tunggal dinyatakan menang secara aklamasi.
“Contoh-contohnya antara lain sebagai berikut di Amerika Serikat dalam pemilu 2014, 32 kursi kongres terpilih tanpa saingan, di Inggris 3 persen dari anggota legislatif terpilih tanpa saingan, di Singapura sejumlah daerah pemilihan parlemen memiliki calon tunggal, juga di Kanada dan Skotlandia dalam pemilihan parlemen/legislatif, di Irlandia terjadi pemilihan presiden dengan calon tunggal pada tahun 1938, 1952, 1974, 1976, 1983, 2004, di Islandia pemilihan presiden dengan calon tunggal terlaksana pada 1992 dan 2000, di Singapura pemilu presiden dengan calon tunggal terjadi tahun 1999 dan 2005,” jelas Effendi.
Di negara lain, terangnya, pemilihan tetap dilangsungkan dan pemilih dihadapkan pada pilihan kolom (kotak) calon tunggal dan kolom (kotak) kosong pada kertas suara. Terdapat juga variasi, pemilih boleh menuliskan nama calon yang mereka ingin pilih.
(Arief Setyadi )