JIKA menyebut prostitusi di Eropa, nama negara Belanda mungkin paling pertama disebut orang awam karena Red Light Distric-nya yang ternama di Kota Amsterdam. Tapi tahukah Anda, bahwa Jerman-lah yang punya rumah bordil terbesar di benua biru?
Bisnis ‘esek-esek’ di negeri yang pernah “kesohor” dengan rezim Nazi pimpinan Der Führer, Adolf Hitler ini juga dilegalkan dengan beberapa perubahan peraturan sejak abad pertengahan, era Third Reich Nazi, hingga saat ini.
Sejumlah red light distric atau lokalisasi juga tersebar di Ibu Kota Jerman – Berlin, Hamburg, Aachen, Bremen, Braunschweig, Hagen, Minden, Mannheim, Düsseldorf, Hannover, Dortmund, Bremerhaven, Duisburg, Oberhausen, Karlsruhe, hingga Köln.
Nah, di Köln inilah terletak “Pascha”, atau rumah bordil terbesar di Eropa. Rumah bordil ini berbentuk gedung dengan 12 lantai.
Sekira 120 pekerja seks komersial (PSK) jadi penghuni dan rumah bordil yang berdiri sejak 1972 itu, rata-rata dikunjungi 1.000 pria hidung belang per harinya.
Sementara di Hamburg, lokasi prostitusi yang paling dikenal berada di kawasan Reeperbahn yang menawarkan berbagai hal, mulai dari toko-toko alat bantu seks, bar striptis, hingga kamar-kamar yang bisa disewa untuk berkencan dengan PSK.
Sedangkan lokasi prostitusi di Hamburg, hanya dilegalkan di sebuah kawasan yang berpusat di gang kecil, Herbertstrasse. Kurang lebih, kawasan Herbertstrasse tak jauh berbeda dari Reperbahn.
Eksistensi lokasi prostitusi di Jerman juga tak berbeda dengan Belanda, di mana beberapa rumah bordil mulai muncul di abad pertengahan, tepatnya di tahun 1300an.
Adapun lokalisasi pertama di Jerman bertempat di Konstanz pada tahun 1414 yang menyediakan sekitar 1.500 PSK, sebagai realisasi permintaan Kaisar Sigismund yang sempat khawatir, terhadap menjalarnya pemerkosaan.
Beralih ke era Third Reich di mana Jerman berada di bawah rezim Nazi, prostitusi sedianya dianggap fenomena asocial. Sejumlah PSK awalnya ditangkapi di dijebloskan ke kamp konsentrasi Ravensbrück – 90 kilometer sebelah utara dari Ibu Kota Berlin.
Tapi seiring berjalannya waktu, rezim Nazi malah mendirikan sejumlah rumah bordil di dalam kamp konsentrasi, di mana para “pelanggannya” dikhususkan untuk para tentaranya (Wehrmachtsbordelle).
Pasca-Third Reich runtuh di akhir Perang Dunia II, prostitusi, terutama di Jerman Timur pada era Perang Dingin, ditetapkan sebagai aktivitas ilegal – kendati sejumlah PSK dan mucikari masih eksis bertransaksi seks dengan para konsumennya secara diam-diam.
Sementara di Jerman Barat, prostitusi tetap dilegalkan dengan tambahan aturan tes penyakit kelamin. Pada 1987, pemerintah Jerman Barat menerapkan kewajiban tes HIV/AIDS.
Beralih ke abad 21, Jerman sempat kebanjiran sekira 40 ribu PSK ilegal yang kebanyakan datang dari Eropa Timur, lantaran adanya perhelatan akbar pesta sepakbola Piala Dunia 2006.
Selain meluapnya arus PSK ilegal, prostitusi yang legal di Jerman juga mendorong mencuatnya sejumlah kasus perdagangan manusia.
Oleh karenanya, belum lama ini parlemen Jerman kembali menggodok soal rancangan peraturan baru tentang prostitusi yang sedianya, pertama kali diajukan 2013 silam.
(Randy Wirayudha)