DEMAK - Seorang ibu lima anak di Demak Jawa Tengah sudah puluhan tahun menjadi buruh angkut pasir, namun tak sekali pun memeringati Hari Buruh Sedunia. Baginya, tak ada hari libur bekerja untuk menyuarakan hak-hak dan kenaikan gaji sebagaimana buruh di sektor formal.
“Demo-demo itu hanya bagi orang-orang yang bekerja di pabrik, tapi kalau saya ini kan pekerja kasar di sungai yang menambang pasir. Ya kami enggak pernah tahu apa itu Hari Buruh, kalau tidak kerja ya tidak makan,” kata Istiani, saat ditemui Okezone, di Sungai Jragung, Karangawen, belum lama ini.
Di saat ribuan atau bahkan jutaan buruh lain sedang menggelar peringatan Hari Buruh Sedunia atau May Day, Istiani sama sekali tak terpengaruh. Sejak pagi buta hingga sore hari, dia tetap harus mengangkut pasir demi menghidupi kelima anaknya.
Gunung-gunung pasir yang dibuatnya tak langsung terjual ke konsumen. Olah karenanya, gunung pasir atau biasa disebut satu rit itu, dibeli terlebih dahulu oleh pengepul dengan harga yang tentunya lebih murah. Sementara istiani, hanya diberi upah Rp30 ribu rupiah per hari.
“Kalau capai ya capai banget, tapi gimana lagi kalau tidak bekerja. Sejak pagi di sini ngangkutin pasir, dibawa ke sana pinggir sungai. Bolak-balik paling ya sekira 50 kali, sambil gendong pasir. Ini berat lho, 50 kilogram ya lebih,” ujarnya sambil menggendong pasir.