Meski dengan penghasilan sangat minim, Istiani tak pernah terbersit melakukan unjuk rasa. Dia sadar sebagai pekerja di sektor nonformal, hanya bisa mengandalkan kemampuan diri sendiri. Tak ada majikan yang bakal memberi janji kenaikan gaji maupun tunjangan hari tua.
“Lha kalau demo harus demo ke mana? Kalau buruh-buruh pabrik itu kan bisa demo ke majikannya di pabrik, atau ke Dinas Tenaga Kerja atau ke mana ajalah mereka bisa demo. Kami kan hanya kerja di sungai, masa harus demo ke penunggu sungai,” lugasnya sambil tertawa.
Di area penambangan pasir itu Istiani tak sendiri. Masih banyak buruh angkut pasir lain yang kehidupannya tak jauh beda dengannya. Bagi mereka, Hari Buruh hanya berlaku bagi sektor formal. Sementara buruh kasar seperti Istiani, alih-alih mendapatkan perlindungan hukum dan profesi, justru yang ada adalah ancaman penutupan area tambang galian C tersebut.
“Enggak berani muluk-muluk, bisa bekerja seperti ini kami sudah sangat bersyukur karena memang tidak ada pilihan lain. Jika pemerintah ada perhatian kami sangat bersyukur, misalnya jangan asal tutup dan larang kami untuk bekerja,” kata perempuan 37 tahun itu.
(Khafid Mardiyansyah)