PULAU Galang yang terletak di sebelah tenggara Pulau Batam Provinsi Kepulauan Riau adalah sebuah pulau yang memiliki sejarah kelam. Tempat ini adalah lokasi dimana ratusan orang pengungsi kehilangan nyawanya baik karena penyakit, kelaparan, bahkan bunuh diri.
Perang Vietnam yang berlangsung dari 1955 hingga 1975 menimbulkan berbagai kerusakan, kesengsaraan, dan korban jiwa rakyat negara Indochina tersebut. Keadaan tersebut membuat warga Vietnam banyak yang memilih untuk mengungsi, lari dari neraka di tanah air mereka, melintasi lautan dengan menggunakan perahu-perahu menuju ke wilayah yang mereka rasa aman, salah satunya Indonesia.
Namun, perjalanan para manusia perahu itu tidaklah mudah, mereka mempertaruhkan nyawanya untuk sampai ke tujuan. Sebagian dari mereka gagal dan menjadi mangsa lautan atau para perompak yang berkeliaran di perairan tersebut.
Foto: Baltyra.com
Para manusia perahu yang sampai ke Indonesia kemudian ditampung sementara waktu untuk di repatriasi ke negara-negara maju yang mau menerima mereka seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia. Pemerintah Indonesia menyediakan Pulau Galang sebagai lokasi penampungan sementara itu.
Data dari badan pengungsi PBB, UNHCR mencatat sekira 250 ribu manusia perahu yang sebagian besar berasal dari Vietnam ditampung di Kamp Pengungsi Pulau Galang dari 1975 hingga 1996. Kamp Pengungsi yang sering juga disebut sebagai Kamp Sinam tersebut memiliki luas 16 kilometer persegi dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas sepoerti kantor administrasi, rumah sakit, sekolah, gereja, pemakaman, penjara, dan fasilitas lainnya.
Kehidupan disana berjalan lancar hingga jumlah pengungsi yang datang jauh melebihi perkiraan UNHCR. Keadaan bertambah buruk setelah negara-negara tujuan mulai menolak untuk menerima lebih banyak lagi pengungsi ke negara mereka.
Kondisi ini menyebabkan berbagai masalah dan kesulitan hidup di kamp pengungsian, sehingga UNHCR mulai menyeleksi siapa yang berhak dikategorikan sebagai pengungsi dan siapa yang merupakan imigran ekonomi.
Mereka yang tidak bisa dikategorikan sebagai pengungsi tidak dapat di repatriasi ke negara tujuan. Sebagian tetap tinggal di kamp pengungsi sedangkan sebagian lagi dipulangkan ke Vietnam.
Kehidupan Mengerikan
Selain masa depan yang tak pasti, kehidupan para pengungsi di Pulau Galang juga tidak mudah. Beberapa laporan menyebutkan betapa mengerikan kehidupan para pengungsi, terutama perempuan.
Banyak cerita menyebutkan terjadinya praktek-praktek bejat seperti penganiayaan, pemerkosaan, dan penyuapan yang dilakukan baik dari kalangan pengungsi sendiri maupun dari para penjaga setempat.
Keadaan ini juga menyebabkan sebagian pengungsi memilih untuk mengakhiri nyawa mereka dengan melakukan bunuh diri.
Puncaknya pada 1994, para pengungsi yang lelah menanti kepastian nasib melakukan mogok makan menuntut kejelasan bagi mereka. Sampai akhirnya pada September 1996, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menutup Kamp Pengungsi Pulau Galang setelah jumlah kematian disana mencapai jumlah yang tinggi.
Sejak 1975 sampai 1996 dilaporkan beberapa kematian tragis akibat bunuh diri dengan berbagai cara seperti membakar diri, menggantung diri, atau menggunakan pisau.
Salah satu kasus yang paling sering terdengar adalah kematian seorang gadis bernama Tinh Nham Loai yang melakukan bunuh diri karena tak sanggup menahan malu setelah diperkosa oleh tujuh orang pengungsi pada 1985. Untuk mengenang kejadian ini, sebuah monumen yang dinamakan patung kemanusiaan dibangun di Kamp Sinam.
Saat ini Kamp Pengungsi Pulau Galang telah menjadi tujuan wisata untuk mengenang para manusia perahu. Di tempat itu terdapat 503 makam pengungsi yang kehilangan nyawanya karena berbagai sebab, ratusan diantaranya akibat bunuh diri setelah tidak diakui sebagi pengungsi atau akan dipulangkan kembali ke negara asalnya.
Menurut cerita, kematian mereka membuat Kamp Pengungsi Pulau Galang menjadi tempat yang menyeramkan. Banyak orang mengaku melihat arwah para pengungsi yang meninggal disana, bahkan tidak sedikit pengunjung yang datang untuk meminta ilham, seperti nomor lotre atau berdoa demi keberuntungan.
(Rahman Asmardika)