Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Remaja Penginjak Alquran di Tulungagung Dihukum Kembali ke Orangtua

Solichan Arif , Jurnalis-Senin, 20 Juni 2016 |19:43 WIB
Remaja Penginjak Alquran di Tulungagung Dihukum Kembali ke Orangtua
Pemuda di Sumatera Barat berpose sambil menginjak kitab suci (foto Facebook/Okezone)
A
A
A

TULUNGAGUNG - Remaja berinisial F (14) penginjak kitab suci Alquran di dalam musala di Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur akhirnya dikembalikan ke orangtuanya. Penyerahan ke orangtua merupakan pengganti hukuman pidana (diversi) penistaan agama yang sebelumnya disangkakan kepada bocah asal Kecamatan Besuki itu.

Menurut Kasat Reskrim Polres Tulungagung, AKP Andria Diana Putra, faktor usia di bawah umur menjadi alasan utama F lolos dari jeratan pidana.

“Ini merupakan hasil keputusan bersama dalam sidang diversi dengan MUI, LPA, Bapas, Dinas Sosial, dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Tulungagung,” ujar Andria kepada wartawan, Senin (20/6/ 2016).

Polres Tulungagung juga menghadirkan orangtua F dan perangkat desa. Apa yang dilakukan F telah membuat heboh masyarakat, khususnya umat Islam. Dengan alasan iseng, bocah tamatan sekolah dasar itu duduk dengan kaki memijak Alquran. Selai itu, di foto F juga tampak meniduri Alquran.

Ironinya, aksi yang berlangsung di dalam musala itu, dilakukan F bersama lima rekanya usai “berpatroli” membangunkan orang sahur. Tanpa beban, ia mengunggah foto aksinya di media sosial.

Polres Tulungagung menggelandang F bersama lima rekannya ke Mapolres Tulungagung pada Sabtu 18 Juni 2016. Polisi langsung menetapkan F sebagai tersangka penistaan agama. F mengaku iseng dan tidak ada motif lain yang mendasari aksinya tersebut.

(Baca juga: Ditetapkan Tersangka, Remaja Penginjak Alquran di Tulungagung Mengaku Iseng)

Polisi juga langsung memulangkan kelima rekan F karena terbukti tidak terlibat. Penyerahan kepada orangtua, kata Andria, harus diikuti dengan kewajiban orangtua melanjutkan sekolah F kembali.

Sebab faktor pendidikan disinyalir kuat menjadi penyebab kenakalan yang melibihi batas itu. F diketahui drop out dari madrasah tsanawiyah (setingkat SMP).

Selama ini, F memilih diasuh kakeknya setelah kedua orangtuanya bekerja sebagai buruh migran. “Sebagai kontrol, dua minggu sekali kami meminta orangtuanya untuk absen ke Mapolres,” jelas Andria.

Sebelum penyerahan, Bapas Kediri akan membina F terlebih dulu. Sementara waktu F akan ditempatkan di Mapolres Tulungagung.

“Selama satu sampai dua hari akan dititipkan di Mapolres dulu. Sebab Dinas Sosial Tulungagung belum memiliki shelter khusus pembinaan anak,” ujar Andria.

Sementara Ketua MUI Tulungagung, KH Mashadi Mahfudz atau biasa dipanggil Gus Hadi mengatakan bahwa secara syar’i usia F memang belum akil baliq. Karenanya, jenis hukuman yang patut diterimanya adalah melanjutkan sekali sekolahnya. “Dikembalikan untuk dibina orangtua. Dan orangtuanya juga menyanggupinya,” ujarnya.

Gus Hadi berharap kasus ini jangan sampai terulang lagi. Sebab, agama khususnya menyangkut hal prinsip yang tidak bisa dicampuradukkan dengan gurauan. “Harapannya hal ini bisa menjadi jera,” ujarnya.

Luluk Wijiastuti (33) ibunda F mengakui, anaknya selama ini tinggal di Desa Tanggulkundung bersama orangtuanya. Sedangkan dirinya berdomisili di Kabupaten Ponorogo bersama suami keduanya.

“Anak saya putus sekolah MTs karena mengikuti teman temanya. Ia pindah swasta karena teman juga,” tuturnya.

Sebagai orangtua, Luluk meminta maaf atas apa yang dilakukan putranya. Ia berencana membawa F ke Ponorogo dan berjanji akan bersungguh-sungguh membinanya. “Rencanaya juga akan saya masukkan ke pondok pesantren dekat rumah,” ujarnya.

Juru bicara Bapas Kediri, Ida Wening mengatakan, pihaknya akan terus melakukan pembinaan selama enam bulan. Setiap satu dua pekan sekali petugas akan datang ke rumah orangtua F. Jika pembinaan tidak mengubah perilakunya, secara hukum aparat hukum bisa mengalihkan status diversi F kembali ke pidana.

“Bisa disidangkan secara pidana bila memang pembinaan tidak mampu mengubah perilaku yang bersangkutan,” tegasnya.

Dalam kasus ini, Bapas mengatakan bahwa kasus Tulungagung merupakan yang pertama kalinya. Sebagian besar kasus anak yang meningkat selama bulan puasa adalah terkait pencurian, pelecehan seksual, dan perkelahian.

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement