Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Polemik Kepulan Asap Tembakau

Syamsul Anwar Khoemaeni , Jurnalis-Senin, 29 Agustus 2016 |06:02 WIB
Polemik Kepulan Asap Tembakau
Foto: Illustrasi Okezone
A
A
A

JAKARTA - Seorang pria tua duduk termangu di kursi rotan. Tatapan matanya menerawang, sementara di antara jari telunjuk dan jari tengahnya mengapit sebuah rokok kretek. Sesekali, ia hisap dalam-dalam sebatang pilinan tembakau bercampur cengkeh itu.

"Pusing juga Mas kalau harga (kretek) naik dua kali lipat," ujar Warto (60) saat ditemui Okezone di Jalan Padang, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan, Minggu, 28 Agustus tadi malam.

Kakek penjaga kontrakan itu mengaku menghabiskan sebungkus rokok kretek perhari. Meski berpenghasilan Rp2,5 juta per bulan ia menyebut masih bisa menyisihkan sedikit duit untuk membeli sebungkus rokok seharga Rp15 ribu.

"Sekarang masih bisalah kebeli, kalau harganya naik, paling nanti sehari setengah batang aja," sambungnya sembari tertawa.

Pro-kontra Sebatang Rokok

Wacana kenaikan harga rokok hingga dua kali lipat, direspons beragam oleh masyarakat. Namun, pegiat Komunitas Kretek, dengan tegas menolak usulan peningkatan harga tersebut.

Mereka menilai, harga rokok yang melambung, justru menekan penikmat tembakau, sekaligus menutup industri rokok kecil di daerah. Imbasnya, petani tembakau pun dirugikan lantaran tidak ada lagi yang membeli hasil panennya.

"Bukan cuma konsumen, industri rokok utamanya kretek di daerah akan kolaps dan petani tembakau juga kena dampak," ujar Sekjen Komunitas Kretek (Komtek), Alfa Gumilang.

 Pencegahan Akses Pembelian Rokok

Semetara itu, Ketua Panja RUU Pertembakauan, Firman Soebagyo membeberkan, isu kenaikan harga rokok bermula dari penelitian Profesor Tabrani yang diragukan hasilnya. Namun, ia menuding adanya pihak yang mendompleng di balik isu tersebut.

"Saya rasa mengenai masalah wacana kenaikan harga rokok, itu kan dimunculkan dari penelitian dari Profesor Tabrani. Nah dari penelitian itu, latar belakangnya adalah karena lembaga-lembaga anti tembakau mendapat sponsor dari Bloemberg. Bloemberg itu adalah salah satu organisasi sosial kemasyarakatan yang memang mempunyai afiliasi dengan para industri farmasi dunia," tutur Firman.

Menyitir buku 'Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek', politikus Partai Golkar itupun menyebut kepentingan industri farmasi di balik kampanye antirokok. Firman menyontohkan, adanya nikotin sintetis, membuat produk tembakau menjadi kelimpungan. Terlebih sejak 2009, muncul slogan 'low tar, low nicotin'.

"Sudah diakui kan bahwa dana untuk kegiatan riset yang tujuannya memang mematikan industri tembakau, di belakang itu memang persaingan dagang antara industri farmasi dengan industri pertembakauan. Kalau rokok dimatikan kan akan dimasukkan nikotin sintetis yang berkadar rendah," imbuhnya.

Sebaliknya, Komnas Pengendalian Tembakau (PT), menegaskan jika di sejumlah negara maju, sudah mempraktikkan tiga langkah untuk menekan jumlah perokok. Dimulai dengan pemberian peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok, negara juga membatasi ruangan untuk merokok.

"Jadi, ada kawasan tanpa rokok, kita sudah lakukan itu. Lalu menaikkan harga rokok, di seluruh dunia ini sudah dibuktikan berhasil menekan orang yang ingin mulai merokok," jelas Dr Hakim Sorimuda Pohan, selaku Ketua Komnas PT.

Adapun persoalan di Indonesia ialah kaum perokok yang berusia dini. Industri rokok, lanjut Hakim, kini menyasar anak-anak dan pemuda guna kelangsungan usahanya. Sebab itu, melalui permainan ikan, pabrik rokok mengesankan jika kebiasaan menghisap tembakau adalah bagian dari gaya hidup macho dan fashionable.

"Kita berhadapan di Indonesia dengan masalah terlalu dini orang mulai merokok, empat tahun sudah mulai merokok. 10 tahun sudah merokok. Sasaran rokok oleh pabrik mencari perokok muda agar bisa menjamin kelangsungan industri rokoknya. Mereka kampanyekan betapa energiknya kalangan perokok, anak muda dibikin kesan diotaknya perokok ini keren, macho, gaul, orangnya menjadi santun," geram Hakim.

Rokok sebagai Pintu Masuk Narkoba

 

Dr Hakim Sorimuda Pohan menolak tudingan bahwa industri farmasi memiliki kepentingan di balik kampanye antirokok. Sebaliknya, ia menyebut adanya peneliti dunia yang menganalisis jika tiga bangsa dipermukaan bumi tengah menuju kepunahan pada abad ke 21.

"Itu (tudingan kepentingan farmasi-red) pemikiran orang idiot. Tidak ada perusahaan farmasi yang berlomba bikin obat pengganti rokok. Kita mulai menghadapi kepunahan, satu Indonesia, Filipina, tiga Kolombia," beber Hakim.

Kepunahan tersebut, lantaran kaum perokok dianggap sebagai pintu masuk untuk mengonsumsi narkoba. Hakim mengklaim, konsumen rokok berpotensi untuk menjadi pecandu narkotika lantaran keinginan untuk mencari kepuasan lebih. Terlebih 60 persen pria di Indonesia saat ini adalah perokok, jumlah tersebut mengalahkan Cina dan India sebagai pemegang rekor sebelumnya.

"Bangsa lain sudah tertekan turun, Indonesia sedang menaikkan jumlah pecandu narkotik. Pecandu narkotik di Indonesia sangat mencolok, pecandu rokok di Indonesia sudah menyingkirkan juara dunia yang cukup lama, Tiongkok, India dan Rusia," terangnya lagi.

Hakim lantas menyebut adanya riset pada sekelompok orang yang bukan perokok diberikan narkotik dan dicatat aksinya. Namun, mereka semua marah dan mengeluh sembari menanyakan 'apa itu? Saya jadi puyeng, saya jadi mual, saya jadi tidak karu karuan'. Sebaliknya, ketika perokok disuntik narkotika, respons yang muncul ialah ungkapan 'Wah ini jauh lebih enak, saya suka. Saya perlu ini, ini sangat menyenangkan'.

"Jadi kalau kita biarkan tumbuh terus perokok di negeri kita yang siap untuk menyantap narkotika seberapun dipasok ke Indonesia, pasti habis. Itulah bahayanya," sambungnya.

Ihwal frase perokok sebagai pintu masuk pecandu narkoba pun dibenarkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Meski demikian, lembaga antinarkoba menganggap bahwa term tersebut tidaklah absolut.

"Kalau perokok jadi pintu masuk untuk narkoba iya. Tapi itu tidak absolut," jelas Kepala Bagian Humas BNN, Kombes Pol Slamet Pribadi.

Slamet menuturkan, dari sejumlah kasus yang ditangani BNN, para pecandu narkoba memang umumnya perokok aktif atau pernah merokok. Mereka beralih menjadi pecandu barang haram lantaran menginginkan kenikmatan yang lebih lama.

"Alasannya mereka ingin cari sensasi yang lebih lama," tandasnya.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement