KOLOMBIA – Para pemilih dalam referendum Kolombia menolak perjanjian damai antara pemerintah dan kelompok Marxis, FARC. Hasil referendum ini dianggap dapat membahayakan kesepakatan damai. Padahal, kedua kelompok telah bertemu dan hasil referendum diharapkan dapat mengakhiri perang selama 52 tahun.
Jika referendum damai disetujui maka pasukan gerilya FARC dapat terlibat kembali dalam aktivitas masyarakat dan membentuk sebuah partai politik. Namun, hasil referendum menunjukkan sebaliknya. Lebih dari 99 persen TPS melaporkan 50,2 persen suara menentang kesepakatan perdamaian sementara 49,8 persen mendukung perdamaian dengan FARC. Perbedaan kedua kelompok mencapai 60 ribu suara dari total 13 juta pemilih. Demikian sebagaimana dilansir Aljazeera, Senin (3/10/2016).
Menurut media massa setempat, hasil referendum ini sangat mengejutkan banyak pihak. Sejumlah jajak pendapat yang dilaksanakan sebelum referendum digelar menunjukkan mayoritas rakyat Kolombia menerima perjanjian damai dengan FARC. Terkait hasil ini, Presiden Juan Manuel Santos, yang selama ini mempromosikan kampanye damai dengan FARC mengatakan bahwa gencatan senjata bilateral dengan FARC masih berlaku dan harus terus berlaku.
Presiden Santos mengatakan akan merangkul para pemimpin oposisi negara dan memerintahkan para perunding pemerintah untuk kembali ke Kuba guna melakukan pembicaraan dengan para pemimpin FARC. "Saya tidak akan menyerah. Saya akan terus mencari perdamaian sampai saat terakhir dari mandat saya," ujar Presiden Kolombia.
Kendati demikian, pemimpin FARC, Rodrigo Londono, mengatakan mereka akan tetap mempertahankan keinginannya untuk berdamai meskipun hasil referendum tidak menyetujuinya. "FARC menegaskan bahwa mereka hanya akan menggunakan kata-kata sebagai senjata untuk membangun masa depan. Untuk orang-orang Kolombia yang memimpikan perdamaian, mengandalkan kami, perdamaian akan menang," ujar Londono.
(Ahmad Taufik )