Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

KALEIDOSKOP 2016: Gonjang-ganjing Kasus Dugaan Penistaan Agama oleh Ahok

Fakhrizal Fakhri , Jurnalis-Rabu, 28 Desember 2016 |11:47 WIB
KALEIDOSKOP 2016: Gonjang-ganjing Kasus Dugaan Penistaan Agama oleh Ahok
Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menjalani sidang perdana di bekas Gedung PN Jakpus. (Antara)
A
A
A

SEPANJANG tahun 2016 terdapat beberapa kasus yang menarik perhatian publik. Salah satu kasus yang menyedot atensi publik adalah kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Kasus ini bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Saat kunjungan tersebut, Ahok menyitir Surah Al Maidah Ayat 51 di depan warga serta pegawai negeri sipil (PNS) DKI. Umat Islam pun tersinggung dengan ucapan Ahok tersebut.

Gerah akan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) menginisiasi aksi yang diikuti oleh umat Islam. Tak hanya sekali, massa yang berasal berbagai daerah di Tanah Air melakukan aksi hingga tiga kali. Ahok pun ditetapkan sebagai tersangka pada 16 November 2016.

Sebelumnya sempat terjadi perbedaan pendapat antara penyidik Polri yang diketahui berjumlah 27 orang tersebut tentang keterpenuhan unsur niat penistaan agama yang dilakukan Ahok ‎yang menyitir Surah Al Maidah Ayat 51. Namun, akhirnya penyidik yang dipimpin Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Berigjen Agus Ardianto sepakat menetapkan Ahok sebagai tersangka dan langsung mencegahnya bepergian ke luar negeri.

Beberapa hari usai menetapkan Ahok menjadi tersangka, penyidik kepolisian melimpahkan berkas perkara kasus tersebut ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

Tak ingin berlama-lama dengan "bola panas"‎ dari kasus yang telah menjadi perhatian publik, Kejagung juga mengambil aksi supercepat dengan menyatakan lengkapnya berkas perkara Ahok alias P-21. Tak banyak waktu yang dibutuhkan bagi Korps Adhyaksa untuk meneliti berkas kasus penistaan agama itu.

Melalui Jampidum Noor Rachmad, Kejagung memastikan berkas perkara Ahok telah P-21 pada 30 November 2016. Sehari setelahnya, berkas pun dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk segera diadili.

Gonjang-ganjing Lokasi Persidangan Ahok

Kasus penistaan agama Ahok yang diketahui akan mendapat pengawalan ketat dari massa GNPF-MUI rupanya membuat lembaga peradilan "ketar-ketir". Betapa tidak, kasus yang seharusnya digelar di PN Jakarta Utara harus dipindahkan lantaran gedung masih direnovasi.

Sedikitnya terdapat dua lokasi yang sempat menjadi pilihan utama untuk menggelar persidangan. Pertama, Jaksa Agung HM Prasetyo sempat memberikan sinyal bahwa lokasi sidang akan digelar di Cibubur, Jakarta Timur. ‎Kedua, ada usulan agar persidangan digelar di JIExpo Kemayoran dengan alasan keamanan.

PN Jakut akhirnya memastikan lokasi persidangan kasus penistaan agama yang menjerat Ahok tetap digelar di bekas Gedung PN Jakarta Pusat yang terletak di Jalan Gajah Mada. Namun, sidang dengan agenda putusan sela menjadi yang terakhir yang digelar di bekas gedung PN Jakpus tersebut. Nantinya, sidang akan digela rdi Ruang Auditorium Kementerian Pertanian di Jalan MR Haryono, Ragunan, Jakarta Selatan.

80 Pengacara Jadi Pembela Ahok di Persidangan

Juru bicara tim pemenangan Ahok-Djarot, Ruhut Sitompul, sempat mengklaim Ahok akan dibela ratusan pengacara. Namun, belakangan petahana calon gubernur DKI Jakarta nomor urut 2 itu hanya dibela 80 pengacara. Sebanyak 80 orang tersebut tergabung dalam Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika dengan dibagi ke dua tim.

Sebanyak 20 pengacara bertugas sebagai tim litigasi yang mendampingi Ahok di setiap persidangan. Sementara 60 pengacara lainnya bertugas sebagai tim nonlitigasi atau bertugas menghimpun fakta, memverifikasi bukti-bukti, serta keterangan para saksi dan ahli.

Hakim dan Jaksa di Sidang Ahok

PN Jakarta Utara menetapkan lima hakim yang mengadili Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama ini. Kelima “wakil Tuhan” itu adalah‎ Dwiarsi Budi Santiarto ‎selaku ketua majelis hakim, serta Jupriyadi, Abdul Rosyad, Joseph Rahantokman, dan I Wayan Wirjana yang masing-masing anggota majelis hakim.

 

 (Foto: Antara)

Sementara Kejagung telah menunjuk 13 jaksa penuntut umum (JPU) terbaiknya untuk membuktikan bahwa Ahok telah menistakan agama.‎ Mereka adalah Ali Mukartono sebagai ketua, Reky Sonny Eddy Lumentut, Lila Agustina, Bambang Surya Irawan, dan J Devi Sudarsono. Kemudian terdapat nama-nama Lalu Sapto Subrata, Bambang Sindhu Pramana, Ardito Muwardi, Deddy Sunanda, Suwanda, Andri Wiranofa, Diky Oktavia, dan Fedrik Adhar.

Jaksa Mendakwa Ahok Nodai Agama

PN Jakut telah menggelar sidang perdana kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Ahok di eks Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, pada Selasa 13 Desember 2016. JPU yang dikomandoi Ali Mukartono ‎menilai penistaan agama yang dilakukan petahana di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 itu lantaran mengutip Surah Al Maidah Ayat 51.

"Perbuatan terdakwa yang telah mendudukkan Al Maidah 51 sebagai sarana di Pilgub DKI dinilai penodaan terhadap Alquran. Dan, organisasi keagamaan MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah menyatakan bahwa kandungan Al Maidah itu pemimpin dari Yahudi dan Nasrani adalah hukumannya haram dan itu penodaan terhadap Alquran," kata Ali.

Ia menjelaskan, sebelumnya Ahok hanya memberikan sambutannya terkait program kerja di Kepuluan Seribu. Namun di pertengahan kata sambutan, mantan Bupati Belitung Timur tersebut ‎justru memasukkan ayat Alquran.

"‎Hak bapak/ibu, kalau bapak/ibu perasaan tak bisa kepilih nih karena saya takut masuk neraka karena 'dibodohi' gitu, ya tidak apa-apa. Ini kan panggilan pribadi bapak/ibu, program ini jalan saja. Jadi, bapak/ibu tak usaha merasa tak enak dalam nurani tak bisa milih Ahok, tak suka sama Ahok, tapi programnya gue kalau terima tidak enak jadi utang budi. Jangan bapak/ibu punya perasaan tak enak, nanti mati pelan-pelan lho kena stroke," tutur Ali menirukan pernyataan Ahok saat kunjungan kerja di Kepulauan Seribu.

"Padahal terdakwa sendiri yang mendudukkan atau menempatkan Al Maidah 51 sebagai sarana untuk membodohi dalam pemilihan kepala daerah," tutur Ali saat itu.

Tangis Ahok Warnai Persidangan

‎Terdakwa Ahok menangis saat membacakan nota keberatan atau eksepsi atas JPU. Ahok tak kuasa menahan tangis saat bercerita tentang kedekatannya dengan keluarga angkatnya yang beragama Islam.

Saat membacakan nota keberatannya, Ahok mengatakan bahwa dalam kehidupan pribadinya, ia banyak berinteraksi dengan teman-temannya yang beragama Islam. Selain itu, kata Ahok, dia juga memiliki keluarga angkat, keluarga almarhum Baso Amir, yang merupakan keluarga Muslim yang taat.

 

(Foto: Antara)

Terlebih lagi, petahana di Pilgub DKI itu juga mengatakan banyak belajar dari gurunya yang beragama Islam dalam pendidikannya sedari SD hingga SMP. "Saya tahu harus menghormati ayat suci Alquran," kata Ahok usai mendengarkan dakwaan JPU.

"Saya tidak habis pikir kenapa saya dituduh sebagai penista agama Islam? Keluarga angkat saya dari keluarga Muslim. Saya diangkat sebagai anak Bapak Baso Amir dan Haji Misribu. Ayah angkat saya mantan Bupati Bone pada tahun 1967–1970. Beliau adik kandung mantan Panglima RI, almarhum Jenderal (Purn) Muhammad Yusuf. Ayah saya dan ayah angkat saya bersumpah menjadi saudara, sampai akhir hayatnya. Kecintaan dua orangtua angkat saya kepada saya sangat berbekas," urainya.

Kemudian Ahok agak lama terdiam. Suaranya agak berat. Ahok terlihat mengusap air matanya dengan tisu. "S-2 saya di Prasetia Mulya dibayarkan oleh kakak angkat saya, Haji Ananta Amier. Saya seperti orang yang tidak tahu terima kasih, tidak menghargai keluarga angkat saya," kata Ahok sambil mengusap air mata.

Eksepsi Ahok Ditolak Jaksa dan Hakim

Tim JPU menolak seluruh nota keberatan (eksepsi) Ahok dan penasihat hukumnya dalam sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama yang digelar PN Jakut pada Selasa 20 Desember 2016. Majelis hakim pun menolak eksepsi dari Ahok dan penasihat hukumnya.

JPU menyatakan jalan pemikiran penasihat hukum Ahok keliru dalam memahami sejumlah pasal dalam KUHP terkait perkara penistaan agama. Jaksa meminta majelis hakim mengesampingkan keberatan Ahok dan penasihat hukumnya.

"Berdasarkan analisis dan uraian yuridis tersebut, seluruh alasan keberatan yang diajukan oleh terdakwa dan penasihat hukum tidak berkekuatan hukum dan patutlah untuk ditolak," ujar jaksa saat membacakan permohonan atas tanggapan eksepsi Ahok dan tim penasihat hukumnya.

Dalam permohonannya, terdapat tiga kesimpulan yang disampaikan JPU. Pertama, meminta majelis menolak seluruh keberatan Ahok dan penasihat hukumnya. Kedua, majelis hakim diminta menyatakan surat dakwaan terkait penodaan agama telah dibuat secara sah menurut hukum.

"Sementara ketiga, menetapkan pemeriksaan perkara terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilanjutkan," kata jaksa.

Penasihat hukum sempat meminta waktu untuk menyampaikan keberatan secara lisan. Namun, permintaan itu ditolak majelis hakim karena berdasarkan aturan tidak ada lagi keberatan setelah tanggapan JPU.

Pada sidang selanjutnya 27 Desember 2016, majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto menolak nota keberatan Ahok dan penasihat hukumnya.

"Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim, keberatan terdakwa dan kuasa hukum akan diputus bersama keputusan hakim. Oleh karena itu, keberatannya dinyatakan tidak dapat diterima," ujar Dwiarso Budi di bekas Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (27/12/2016).

Sekadar diketahui, dalam kasus ini suami dari Verinoca Tan tersebut diancam Pasal 156 huruf a KUHP tentang Penodaan Agama dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.‎

(Erha Aprili Ramadhoni)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement