MENJADI salah satu pelopor jurnalistik Indonesia, sosok Tirto Adhi Soerjo dikenal sebagai pendiri harian pribumi pertama kali. Kemampuan sebagai jurnalis yang mumpuni tidak diragukan lagi, sebab tulisannya selalu kritis dan berpihak kepada kaum yang kurang beruntung.
Kiprah Tirto Adi Soerjo di dunia jurnalistik memang sangat penting. Bahkan, banyak orang memuji aktivitas persnya gilang gemilang.
Ia juga ditahbiskan menjadi salah satu pelopor jurnalistik Indonesia, selain Wahidin Soedirohoesodo. Di tangan dinginnya, sederet media massa lahir dan mempunyai karakter.
Oleh muridnya, Marco Kartodikromo, di mingguan Djawi Hisworo, 13 Desember 1918, sosok Tirto disebutnya sebagai “Penggoncang Bumiputera dari Bangun Tidurnya”.
Marco mengenal betul watak sang guru, Tirto Adhi Soerjo. Ia dilatih menjadi jurnalis kritis yang memerangi tindak dan perbuatan pemerintah Kolonial Belanda yang merugikan masyarakat pribumi.
Begitu dekat hubungan batin dirinya dengan Tirto, Marco pun menuliskan sebuah esai kenangan kepadanya, sehari sebelumnya atau lima hari setelah mangkatnya Marco Kartodikromo, di Sinar Hindia. Esai kenangan tersebut berjudul ‘Tirto Adhi Soerjo’.
“Saya mesti mengakui bahwa lantaran pimpinannya saya bisa menjadi redacteur, pada ketika saya ada di Bandung, kumpul serumah dengan beliau...sesorang journalist Jawa paling tua, pun beliau seorang Bumiputera yang pertama kali membikin NV pada 10 tahun yang lalu...masyur di seluruh Hindia Belanda lantaran keberaniannya mengusik laku sewenang-wenang...menerbitkan Medan Prijaji...Poetri Hindia, Soeara BOW, Soeara Spoor dan Tram, Soeara Pegadaian, dan Sarotomo.”
Banyak pujian yang dialamatkan kepada Tirto atas prestasinya di dunia pers. Soedjarwa Tjondronegoro dalam Soeara Roepi edisi Oktober 1937 menyebutnya. “Pendiri harian pribumi pertama-tama.”
Sementara redaktur De Expres dan pendiri koran Persatoean Hindia Ki Handjar Dewantoro menabalkan bahwa selain Wahidin Soedirohoesodo, Tirto adalah pelopor jurnalistik Indonesia.
Di lapangan pergerakan, Asisten Residen J Th Petrus Blumberger tak menyembunyikan rasa kagumnya.
“Tirto seorang dari orang-orang terpenting pada tahun-tahun pertama gerakan nasionalistis Indonesia...Dialah yang telah memberi angan-angan, yang kemudian berkembang di kalangan dagang dan kerajinan di Solo.”
Lahir di Bojonegoro, Jawa Tengah, pada 1880, ia sewaktu kecil diberi nama Djokomono. Sebagai seorang yang masih terikat darah dengan bangsawan (cucu Bupati Bojonegoro Tirtonoto), Tirto memiliki kesempatan menjadi siswa sekolah Belanda HBS, kemudian berlanjut menjadi mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia.
Namun, masa depan sekolah formil Tirto berantakan. Bukanya ia murid yang secara inteligensia terbelakang, melainkan karena kesenangan menulis di koran hingga lupa dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Alhasil, nilainya kerap jebol dan melemparkannya kuat-kuat di jalanan jurnalistik.
Pada 2 April 1902, Tirto mendapat kehormatan menjadi redaktur Pembrita Betawi yang dipimpin F Wiggers. Lalu pada Pembrita Betawi Nomor 103 Edisi 13 Mei 1902, Tirto mengumumkan dirinya naik pangkat menjadi pemimpin redaksi yang dibantu sekondanya, Tjiong Loen Tat.
Itulah karier jurnalistik profesional Tirto, walau kedudukannya itu hanya setahun dipundakinya. Setelah keluar dari Pembrita Betawi karena berselisih dengan Wiggers, Tirto secara mandiri membuat Soenda Berita.
Di koran mingguan ini nyaris Tirto bekerja sendiri, sejak dari penulisan, layout, keuangan dan sekaligus administrasi. Apa yang harus diketahuinya, dicurahkan di Soenda Berita.
Ia adalah kronikus peristiwa, namun juga memiliki kecenderungan seorang fotografi, kebersihan makanan, ilmu ekonomi, pengetahuan tentang binatang, tumbuhan yang baik untuk pagar, penangkal sakit gigi, dan jenis obat apa saja yang mesti tersedia di rumah, hingga ilmu akuntansi dan ilmu pengadilan.
Dari Soenda Berita ini, Tirto menjajaki relasi-relasinya dengan para priyayi, khususnya bupati-bupati di Jawa dan Madura, bahkan ayunan langkahnya sampai ke Ambon. Hasilnya, ia mendirikan Sarekat Prijaji pada 1904.
Organisasi ini digadang-gadang bercorak modern pertama yang dengan sadar mengukuhkan diri sebagai organ berwawasan seluruh Hindia, tanpa memerhitungkan suku-suku di dalamnya dan menggunakan lingua franca.
Boleh dibilang Sarekat Prijaji tak melakukan kegiatan apa pun, hingga Tirto disibukkan oleh lahirnya Medan Prijaji pada 1907. Di koran mingguan (pada 1910 berubah menjadi harian) inilah, sosok Tirto tampil cukup menonjol.
Selain sebagai seorang penulis kronik, alkemis, ia pun menjajal kemampuan lain sebagai seorang jurnalis yang berpihak kepada kaum yang tak beruntung, sastrawan aktivitas pergerakan.
Kebijakan redaksi yang diambil Tirto dengan memberikan kelonggaran kepada pembacanya menulis apa saja dan mengadukan hak-haknya yang dicurangi. Kalau ada surat-surat seperti itu, tugas Tirto memberikan komentar. Itu artinya, pada masanya, Tirto memperlakukan Medan Prijaji betul-betul sebagai pengawal pendapat umum.
Bagi yang berperkara, disiapkannya Medan Prijaji sebagai pembelanya. Tercatat dinas khusus dan utama Medan Prijaji ini sudah mengurusi 225 orang warga yang berperkara kepada pemerintah. Di antara mereka terdapat penjual ikan pindang dan ikan kering di pasar, bupati, beberapa sultan di luar Jawa-Madura, juga sebagaimana sudah dicatat di atas, seorang bekas pejuang Aceh yang dibuang begitu saja ke Bandung tanpa prosedur hukum yang wajar.
Jika pada masanya kebanyakan redaksi koran hanya mengutip berita-berita politik pemerintah kolonial dan bupati-bupati menggali sendiri bahannya. Hasilnya adalah tulisan-tulisan tajam, bahkan tak taktis. Sepak terjang itu kemudian membuat sosok Tirto dalam kurun yang sama menjadi manusia berbahaya bagi pemerintah kolonial lantaran telah mengubah cara berkeluh kesan publik dengan cara paling modern, yakni lewat koran.
Dengan menunggangi Medan Prijaji sebagai koran yang menggerakkan kawula bangsa untuk bangkit menolong diri sendiri, sekaligus pada kurun yang sama Tirto mendirikan Soeloeh Keadilan (1907) dan Poetri Hindia (1909). Tirto beberapa kali kena kasus.
Pertama, kasus Aspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak beroleh dukungan warga.
Sementara si jago pertama yang didukung, Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal.
Terbakar oleh amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu, Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan Prijaji No.19 1909. Atas kasus ini, Tirto dibuang ke Lampung.
Kedua, kasus JJ Donner Madiun. Pada Medan Prijaji Th III 1909, muncul artikel Tirto “Drijfusiana di Madiun”. Artikel itu membongar persengkokolan Residen Donner dengan patih dan jaksa-jaksa di Madiun untuk menjatuhkan Bupati Madiun Brotodiningrat. Kasus itu disebut Tirto sebagai aib di pemerintahan Gubernur Jenderal Rooseboom.
Ketiga, skandal Patih Bandung pada 1910. Ia dihajar, dipukuli di pinggir jalan, hingga berdarah-darah akibat pidatonya dan diseret ke pengadilan. Antara lain bunyi pidatonya, Kecintaan rakyat, terutama kasta kami, kaum mardika, ...ada tergantung pada tactnya priyayi, dan kecintaan itu mudah diperoleh jika yang jadi jembatan antara bangsa yang diperintah dengan bangsa yang memerintah muda didekati dan mudah terdekati oleh kasta kami, kaum mardika, karena cara begitu kami tak perlu rugi karena rupa-rupa pengaruh dalam menyampaikan keluh kesah ratap tangis kami pada yang wajib menolong kami...
Keempat, kasus Brunsvel van Hulten. Dia adalah pengacara yang sadar hukum, tapi menempuh jalan kekerasan untuk menaklukkan Tirto. Dikawal oleh jurnalis muda bernama Dominique Willem Beretty, ia mendatangi kantor Medan Prijaji dan meminta mencabut beberapa tulisan. Tirto menolak dan kena cambuk. Marco, seorang anak bawang, hanya bisa melihat pengajaran kepada guru jurnalistiknya itu.
Kelima, kasus Bupati Rembang. Pada Medan Prijaji edisi 17 Mei 1911, Tirto menuding Bupati Rembang, Raden Adipati Djojodiningrat, suami almarhum RA Kartini, telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang bersekutu dengan Patih Rembang Raden Notowidjojo. Keduanya pasang akal bulus menguasai kursi Bupati Tuban yang lowong dengan cara mengawinkan puteranya dengan gadis bupati yang barusan mangkat itu.
Keenam, setahun setelah kasus Rembang, Tirto menyikut residen Ravenswaay dan Boissevain karena menghalangi putera Djojodiningrat menjadi bupati. Sewaktu bupati itu meninggal, Gubernur Jenderal melayat dengan iringan kendaraan berular-ular. Layatan tak wajar itu kena tinju juga oleh Tirto dengan menyebutnya sebagai “kyaine” yang memakai uang rakyat secara sembrono.
Ketujuh, kasus pailitnya NV Medan Prijaji. NV yang disebut Marco sebagai NV pertama dalam industri pers pribumi, dinyatakan pailit dan Tirto disangsi timbunan uang. Dikatakan misalnya, Tirto menyalahgunakan uang yang mestinya dipakai untuk mencetak Sarotomo di Solo, malah diambilnya untuk mencetak Medan Prijaji.
Pada saat kasus tuduhan penipuan ini membumbung, di tubuh SDI bergemuruh friksi-friksi. Oleh para pemberi hutang, dia digugat dan disandera.
Dia dia pun kalah, dibuang dan membayar denda pengadilan dengan cara semua hartanya disita. Pada saat dibuang itulah, pecah kerusuhan rasial di Lawean antara pembatik Jawa versus China.
Semua sepak terjang Tirto itu tercatat rapi karena memang di mata Belanda, seorang yang berbahaya akan masuk dalam daftar incaran nomor satu. Jika van Heutsz harus melepas Snouck Hugronje untuk masuk, mencatat, dan merusak dari dalam kehidupan (elite-elite pejuang) Aceh, maka dengan jabatan yang sama, yakni Penasihat Pemerintah untuk Urusan Pribumi, DR Rinkes oleh Gubernur Jenderal Idenburg ditugaskan mengontrol, mencatat, memojokkan, dan menumbangkan—bukan banyak orang, tapi seorang saja. Pada 23 Agustus 1912, Medan Prijaji dan Tirto memang runduk dan tak pernah tegak lagi untuk selamanya. Ia juga dikenai sangkaan menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja). Dua bulan setelah ditutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis kepada Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang.
Dengan mental yang sudah patah, kalis dan utang yang bertumpuk, ia pun dibuang ke Ambon. Sepulangnya dari sana, Tirto menjadi manusia sebatangkara yang digilas gelombang pergerakan yang dibangunnya susah payah.
Lima tahun kehidupan Medan Prijaji berkalang di medan pertempuran. Tapi bukan dengan cara-cara tradisional sebagaimana angkatan Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar, melainkan dengan tradisi daya cetak yang menyebarluas dan terang-terangan. Daya cetak inilah yang menjadi pembatas luruhnya kurun feodalisme dan bangkitnya tradisi politik modern.
Setelah kejatuhan Tirto, Rinkes pun menulis surat kepada Gubjend Idenburg.
“Pers pribumi di waktu-waktu belakangan sama sekali tidak menimbulkan alasan serius tertentu untuk mengeluh (di waktu-waktu semasa Tirto Adhi Soerjo hal itu lebih gawat).
Rinkes tahu betul peta pergerakan dan isi perut koran-koran pribumi pada masa itu, karena menyusup dalam tubuh Sarekat Dagang Islamijah, tentu tak berkomentar kosong atas habisnya koran-koran pribumi yang membahayakan pemerintah. Suratnya itu bertarikh 1915.
Namun Rinkes kurang awas. Dikiranya dengan memandulkan Samandhudi dan R Goenawan (redaktur Medan Prijaji dan menyerobot Hotel Medan Prijaji menjadi miliknya), semangat perlawan Tirto sudah punah. Rinkes kurang berhitung bahwa Tirto memiliki murid yang tak seperti watak Goenawan, di mana kepada si murid itu telah ditanamkan bibit radikal di Medan Prijaji yang kemudian membuat pemerintah kolonial kalang kabut karenanya. Dia adalah Mas Marco Kartodikromo. Demikian dikutip dari buku ‘Tanah Air Bahasa, Seratus Jejak Pers Indonesia’.
(Tuty Ocktaviany)