ANKARA – Presiden Recep Tayyip Erdogan merayakan hasil referendum Turki yang berakhir dengan keunggulan kubu pro referendum pada Minggu, 16 April. Namun, kelompok oposisi Partai Rakyat Republik (CHP) menyatakan akan menuntut penghitungan suara ulang menyusul adanya dugaan kecurangan.
CHP mengatakan akan menuntut penghitungan ulang hingga 60 persen dari seluruh suara para pemilih. Protes dari oposisi muncul setelah komisi pemilihan memutuskan untuk menerima kertas suara yang tidak berstempel sebagai suara yang sah di menit-menit terakhir menjelang penghitungan.
“Kami akan menggunakan jalur hukum. Jika penyimpangan tidak diperbaiki, akan ada pembicaraan serius mengenai legitimasi,” kata wakil pimpinan CHP Bulent Tezcan sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin (17/4/2017).
Sementara, wakil pimpinan partai oposisi lainnya menuduh adanya kecurangan yang dilakukan untuk memberi keuntungan pada pemerintah.
Kubu pro referendum meraih keunggulan tipis dengan 51,3 persen suara atas kelompok oposisi. Dengan kemenangan ini, pemerintahan Turki yang sebelumnya memakai sistem parlementer akan berubah menjadi sistem presidensial
Sistem baru ini akan memberikan kekuasaan lebih besar untuk Presiden Recep Tayyip Erdogan. Paket perubahan konstitusi yang diusulkan dalam referendum akan menghilangkan jabatan perdana menteri (PM) dan memberi presiden kewenangan untuk merancang anggaran, mengumumkan keadaan darurat, dan mengeluarkan dekrit tanpa persetujuan dari parlemen.
Selain itu, referendum juga akan memperpanjang masa jabatan Erdogan setidaknya sampai 2029.
Para penentang referendum khawatir disahkannya referendum ini akan menjadikan Turki selangkah lebih dekat pada sebuah pemerintahan otoritarian yang dipimpin seorang diktator. Sedangkan di sebagian rakyat Turki lain meyakini perlunya perubahan pada undang-undang dasar untuk mengatasi tantangan yang akan dihadapi negara itu di masa mendatang.
(Rahman Asmardika)