ANKARA – Mayoritas warga Turki menyatakan “Ya” terhadap perubahan sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial dalam referendum yang berlangsung 16 April 2017. Dengan begitu, kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan menjadi semakin besar.
Ketua Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) itu bahkan berpotensi menjadi presiden hingga 2029. Ia juga berkuasa untuk menunjuk secara langsung kepala militer, badan intelijen, rektor universitas, birokrat senior, dan sejumlah badan peradilan hukum tinggi.
Banyak pihak beranggapan bahwa referendum tersebut digelar seturut dengan ambisi Presiden Recep Tayyip Erdogan. Mantan Gubernur Istanbul itu diyakini haus akan kekuasaan. Kemenangan dalam referendum tersebut memunculkan kekhawatiran Turki akan dikendalikan oleh diktator bernama Erdogan.
Para pemantau internasional mengkritik referendum tersebut. Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) menemukan kampanye yang dihambat bagi kubu “Tidak”. Bahkan, ada indikasi manipulasi suara terhadap 2,5 juta pemilih.
“Undang-undang mewajibkan hanya amplop dengan stempel resmi saja yang bisa dikumpulkan. Faktanya otoritas pemilihan tertinggi memutuskan amplop tanpa stempel resmi juga dikumpulkan, sesuatu yang melanggar hukum,” ujar anggota OSCE asal Austria, Alev Korun, mengutip dari Reuters, Rabu (19/4/2017).
“Ada kecurigaan bahwa lebih dari 2,5 juta suara sudah dimanipulasi,” tambahnya. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat dari margin suara yang memenangkan Erdogan. Dengan kata lain, hasil referendum bisa saja berubah dengan drastis.