Kalangan oposisi juga sedang bersiap mengajukan gugatan terhadap indikasi kecurangan tersebut. Partai Rakyat Demokratik (HDP) menemukan bahwa sebanyak 3 juta amplop pemilih tidak memiliki stempel resmi namun tetap dihitung sebagai suara sah.
Kampanye Timpang
Selain kecurangan tersebut, OSCE menggarisbawahi adanya ketimpangan dalam kampanye referendum. Dalam jumpa pers di Ankara pada Senin 17 April, OSCE mengatakan kampanye “Tidak” menghadapi kendala, termasuk kurangnya kebebasan berpendapat, intimidasi, dan kurangnya akses ke media.
Pendukung “Ya” mendapatkan privilese berupa peliputan kampanye secara luas dari media sementara kubu “Tidak” haknya dihambat. Bahkan, sejumlah jurnalis serta media yang bertentangan ditangkap dan ditutup untuk membungkam pandangan lain.
Alev Korun juga menuturkan kepolisian di Diyarbakir yang menjadi basis suku Kurdi –musuh utama Erdogan, melarang dua orang rekannya untuk meninjau tempat pemungutan suara. Recep Tayyip Erdogan bergeming terhadap segala kritik tersebut. Ia menegaskan bahwa pemungutan suara tersebut sebagai pemilihan paling demokratis dibandingkan dengan negara Barat mana saja.
Satu hal yang perlu dicatat juga, Turki mengadakan referendum di tengah status darurat yang diberlakukan oleh Erdogan sendiri usai kudeta militer yang gagal pada 15 Juli 2016. Status darurat tersebut diperpanjang beberapa kali oleh Erdogan dengan alasan ketidakstabilan politik.
Alasan serupa juga yang diutarakan oleh Erdogan dan Partai AKP sebagai justifikasi referendum tersebut. Pria asal Istanbul itu mengatakan, Turki membutuhkan stabilitas politik dengan memberikan kekuasaan lebih kepada presiden, jabatan yang diembannya saat ini.
(Wikanto Arungbudoyo)