JAKARTA - Perkawinan anak di bawah umur dianggap memiliki dampak sosial yang cukup kompleks. Bukan hanya persoalan biologis pada kesehatan reproduksi perempuan, tetapi juga psikis yang dapat memicu persoalan-persoalan sosial lainnya.
“Seperti kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, kemiskinan, sampai pada kasus trafficking (perdagangan orang)," ujar Ketua Umum Fatayat NU, Anggi Ermarini dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/5/2017).
Berdasarkan UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2012, mereka yang belum berusia 18 tahun masuk kategori anak/remaja. Kemudian, Riset Kesehatan Dasar 2015 menunjukan, angka pernikahan usia di bawah 19 tahun capai 46,7 persen, dan pernikahan di kelompok usia 10-14 tahun hampir 5 persen.
Menurut Anggi, angka tersebut menunjukan kewajaran jika Indonesia masuk kategori negara tertinggi di dunia dengan jumlah pernikahan anak terbanyak. Untuk itu, Fatayat NU mengkampanyekan stop perkawinan anak.
Persoalan tersebut juga dibahas dalam Rakernas PP Fatayat NU. “PP Fatayat NU saat itu ikut hadir di Mahkamah Konstitusi dalam rangka pengajuan pendewasaan usia perkawinan”, katanya.