NEGERI kita terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan. Indonesia bisa berbangga jadi negara majemuk yang bersatu dan bisa bertahan sejak lahir 17 Agustus 1945, kendati beragam cobaan maha besar dua kali pernah mendera.
Selain peristiwa berdarah 30 September-1 Oktober 1965, negara kita juga nyaris terpecah belah akibat meletusnya Tragedi Mei (kerusuhan 4-8 Mei dan 12-15 Mei) 1998. Tragedi chaos yang juga meliputi penembakan 4 mahasiswa Universitas Trisakti.
Peristiwa yang boleh dikatakan serupa tapi tak sama dengan Peristiwa Kristallnacht yang pernah terjadi di Jerman pada 9 November 1938. Sebuah peristiwa kerusuhan berdasarkan kebencian terhadap etnis tertentu.
Jangankan para korban pemerkosaan dan pembunuhan lain yang lebih banyak dan datanya tak jelas. Untuk tewasnya 4 mahasiswa Trisakti, Elang Mulia Lesmana, Hendriawan Sie, Hafidin Royan dan Heri Hertanto saja sampai detik ini kasusnya belum juga menemui titik terang.
Kasus yang “awet” meski rezim berganti hingga era Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Ah, Miris rasanya kalau tahu bahwa para keluarga korban sampai sekarang tak tahu di mana ujung penyelesaian kasusnya.
Dulu BJ Habibie, Presiden ketiga RI, pernah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Hasilnya, tim itu mencatat 85 kasus perkosaan. Sementara Tim Relawan untuk Kekerasan pada Perempuan mencatatkan setidaknya ada 152 kasus perkosaan dan kekerasan seksual terhadap para wanita yang mayoritas berasal dari etnis Tionghoa.
Tapi entah bagaimana kasus-kasus itu sampai sekarang masih gelap. Bahkan kasus Trisakti, Semanggi I dan II yang pernah dibentuk pansusnya oleh DPR pada tahun 2000 saja, berbuah deadlock. Para legislator enggan merekomendasikan Pengadilam Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc.
Dari tahun ke tahun di setiap bulan lima (Mei), kita hanya bisa mengingat, mengingat dan mengingat lewat beragam peringatan. Baik napak tilas para mahasiswa Universitas Trisakti, hingga peringatan yang dilakukan Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.
(Baca: 19 Tahun Tragedi Mei 98, Komnas Perempuan Desak Pemerintah Usut Tuntas Kasusnya)
Peringatan tahun ini, tepatnya pada Senin 8 Mei 2017, khusus dilakukan di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. TPU yang jadi tempat persemayaman korban massal Tragedi Mei 98.
Peringatan yang turut dihadiri Presiden ketiga RI BJ Habibie dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat, serta para keluarga korban Tragedi Mei 98.
“Saya terus mencari kebenaran serta keadlian, pada kebenaran tragedi 98 ini sudah diselediki oleh Komnas HAM. Selain itu kasus ini juga tidak ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung dengan berbagai alasan," ujar Sumarsih, salah satu keluarga korban.
"Saya juga menagih Presiden Jokowi yang dalam visi, misinya berkomitmen untuk menyelesaikan kasus HAM berat seperti tragedi Mei, Semanggi 1, 2 dan Trisakti," lanjutnya.
Sementara di sela pernyataannya, ada secercah harapan lain di mana Habibie mengaku akan jadi perantara penyampaikan dokumen Tragedi 98 kepada Presiden Jokowi.
"Kejadian 98 kita tidak boleh melupakan itu. Itu adalah suatu fakta yang sudah terjadi, ada yang mengatakan itu hanya berapa orang, hanya seratus orang dari 250 juta, tapi itu adalah ujung tombak dari ketidakadilan,” cetus Habibie.
“Nanti serahkan dokumennya (kasus Tragedi Mei 98) ke Komnas Perempuan, saya yang sampaikan langsung ke Presiden Jokowi," tandasnya berjanji.
Pun begitu tidak dijelaskan kapan Habibie akan bertemu Presiden Jokowi untuk membahas kasus Tragedi 98. Begitu pula ada keraguan apakah ketersendatan kasus itu akan langsung terselesaikan. Tapi semoga saja, demi kebaikan dan keadilan negeri kita dan manusianya.
(Randy Wirayudha)