PRESIDEN pertama RI sekaligus proklamator Ir Soekarno pernah berkata: “Indonesia bukan hanya untuk satu golongan!” Ya, bagaimana mungkin hanya untuk satu golongan? Wong republik ini bisa lepas dari belenggu agresor berkat keringat, darah dan nyawa beraneka ragam bentuk manusia yang cinta pada negara ini.
Mau yang matanya belo sampai sipit. Mau yang kulitnya item atau kuning, semua sama rata, sama-sama dianggap musuh dan layak jadi sasaran peluru penjajah.
Seperti di Surabaya misalnya. Kota ini dikenal sebagai Kota Pahlawan yang tak lepas dari peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November. Pertempuran yang merenggut lebih dari 6 ribu manusia Indonesia (menurut catatan Inggris yang dikutip dalam ‘Kronik Revolusi Indonesia: Jilid I (1945)’.
Apa kira-kira di antara 6 ribu itu matanya belo dan kulitnya item semua? Ragu kalau ada yang menyebut “iya”. Kalaupun benar-benar ada, mungkin dia mendasarkan pemikirannya dengan imajinasi dangkal yang sukar membedakan mana fakta dan mana fiksi.
Buktinya tidak sedikit pemuda keturunan Tionghoa di Surabaya, bahkan dari Malang yang ikut berjudi nyawa dalam pertempuran dahsyat pertama yang dialami Inggris pasca-Perang Dunia II itu. Muda-mudi Tionghoa yang tergabung ke dalam berbagai wadah.
Mulai dari Palang Merah Tionghoa yang diisi para pelajar pendidikan medis di Surabaya dan Malang, Palang Biru, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Angkatan Muda Tionghoa, hingga Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) pimpinan Soetomo alias Bung Tomo.