“Dalam aksinya (Tentara Chungking), mereka mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dan itu dibenarkan Pemerintah Chungking. Juga kaum wanita Tionghoa bahu-membahu dengan para pemudi Indonesia bergiat di barisan Palang Merah Indonesia,” seru siaran Radio Republik Indonesia (RRI), 13 November 1945.
Vitalnya peran palang merah dan badan-badan logistik lainnya, menjadikan mereka turut jadi sasaran keji serangan Inggris, baik lewat darat maupun pemboman udara. Seperti yang terjadi pada satu pos Palang Merah Tionghoa dekat Stasiun Semut, 18 November 1945.
“Surabaya telah ditembaki dan dibom secara kejam oleh tentara Inggris. Laporan resmi yang memastikan jumlah korban belum diterima. Nyata ribuan mati dan luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak,” tegas Presiden Soekarno dalam pidato protesnya.
Pertempuran Surabaya itu sekiranya baru berakhir pada 28 November 1945. Selain pihak pejuang republik mundur dari Kota Surabaya, sejumlah permukiman warga sipil porak poranda menyisakan puing-puing yang kebanyakan, mengubur jasad-jasad manusia yang tak ada beda ras dan golongan- melainkan sama sebagai korban.
(Randy Wirayudha)