KETIKA ibunda tengah malas masak aneh-aneh untuk makan sahur buat penulis, menu sederhana ikan sarden “kalengan” dicampur telur kerap jadi alternatif yang paling dipilih. Tapi siapa sangka ternyata menu ini tergolong “bersejarah” jelang Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebagaimana kita ketahui, kebetulan di bulan Agustus 1945 itu juga bertepatan dengan bulan suci Ramadan 1364 Hijriah (H). Di bulan puasa itu pula, dua proklamator, Soekarno dan Mohammad Hatta plus Achmad Soebardjo mesti “lembur” merampungkan sebuah teks maha penting.
Teks proklamasi yang semalaman dipikirkan untuk kemudian dituliskan Bung Karno yang lantas diketik Sayuti Melik, di rumah Shoso atau Laksamana Muda (Laksda) Tadashi Maeda, seorang perwira tinggi Kaigun (Angkatan Laut) Jepang yang bersimpati dengan upaya kemerdekaan Indonesia.
Rumah Laksamana Maeda yang jadi “safe house” pasca-sejumlah kejadian teror pemuda hingga “penculikan” Rengasdengklok yang kini, sudah beralih fungsi menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat.
Di sebuah ruang besar di salah satu sudut rumah Maeda itu, Soekarno-Hatta dan Soebardjo berpikir keras bersilang pendapat dalam “pekerjaan lemburnya”. Karena yang mereka kerjakan menentukan arah bangsa Indonesia pascamerdeka.