Ia mengaku selain untuk mencuci, air PDAM tersebut ia gunakan untuk mandi, memasak dan kebutuhan air minum. Ia tak lagi menggunakan sumur yang lokasinya tak jauh dari rumahnya. “Dulu, masih kuat nimba, ya pakai air sumur. Baik mandi, nyuci pakaian dan perabotan dapur,” katanya .
Sumur yang hanya berjarak 6 meter dari Sungai Brantas ini dimanfaatkan sebagian warga RT 03/RW 12 yang berada di bantaran sungai. Di sebelah sumur terdapat toilet umum-biasa digunakan warga yang belum atau tidak memiliki jamban alias water closet (WC) di rumahnya.
Warga lainnya, Srimunah (86), juga mengaku menggunakan toilet umum tersebut. Kendati sudah puluhan tahun tinggal di bantaran sungai, Srimunah belum memiliki WC. Sebelum toilet umum dibangun tahun 2000-an, Srimunah dan warga memilih buang air besar (BAB) di sungai.
Ibu tiga anak ini juga memanfaatkan air sumur di dekat toilet umum untuk mandi, memasak dan mencuci pakaian. Srimunah mengaku sudah biasa mandi menggunakan air sumur yang berada tidak jauh dari aliran Sungai Brantas. Gejala gatal-gatal hingga bintik-bintik merah di tangannya selepas mandi dinilai lumrah.
“Dulu air sungai masih cukup bersih, sekarang saja sudah begitu kondisinya,” ujar dia menyadari perubahaan kualitas air.
Sungai Brantas (Hari/Okezone)
Kondisi tersebut juga dirasakan warga lain, Rofii. Warga Jalan Kaliurang`Barat, Kelurahaan Samaan, Kota Malang, ini harus beralih menggunakan air PDAM untuk kebutuhan di rumah tangganya. Sebelumnya, ia bersama warga lain memanfaatkan air sumur yang tidak jauh dari aliran Sungai Brantas itu untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Berubahnya warna air serta kualitas air menjadi alasan warga mengurangi aktivitas di Sungai Brantas. Meski begitu, Rofii tidak memungkiri anak-anak di kampungya masih gemar mandi di sungai.