"Tulisan (dalam Manuskrip Voynich) terdiri dari beberapa huruf pilihan, yang digabungkan mewakili keseluruhan kata, tidak berbeda dengan monogram," tulisnya dalam artikel di Times Literary Supplement. Gibbs berpendapat, ada halaman indeks yang memuat arti-arti singkatan dalam Manuskrip Voynich yang hilang membuat dokumen itu hampir mustahil untuk dipecahkan. Namun, teori Gibbs mendapat bantahan dari beberapa ahli dokumen abad pertengahan lainnya yang meyakini bahwa bahasa yang dignakan dalam manuskrip tersebut bukanlah bahasa Latin.
Selama Perang Dunia II, upaya pemecahan kode yang terkandung dalam Manuskrip Voynich juga dilakukan tetapi gagal membuahkan hasil. Pada 2013, muncul sebuah sugesti dari para peneliti bahwa Manuskrip Voynich sebenarnya adalah sebuah hoax alias tipuan yang tidak memiliki arti apa-apa.
"Ada banyak teks terenkripsi sejak Abad Pertengahan dan 99,9 persen telah dipecahkan. Jika Anda memiliki keseluruhan buku, seperti ini, seharusnya 'cukup mudah' untuk memcahkannya karena ada banyak bahan untuk dianalisa dan digunakan (untuk memecahkannya). Fakta bahwa (Manuskrip Voynich) belum pernah didekripsi adalah argumen yang kuat untuk teori hoax,” kata ahli kriptografi Klaus Schmeh sebagaimana dilansir Atlas Obscura.
Saat ini Manuskrip Voynich tersimpan di Perpustakaan Buku dan Manuskrip Langka Beinecke di Universitas Yale, Amerika Serikat (AS). Selama enam abad keberadaan Manuskrip Voynich, diketahui belum ada yang bisa mengartikan satu kata dari tulisan di dalamnya atau mendapatkan sesuatu yang berguna dari dokumen misterius itu.
Namun, meski tidak diketahui apa yang sebenarnya tertulis di dalam manuskrip tersebut, banyak ahli, peneliti, bahkan pengusaha yang mencurahkan pemikiran, daya, upaya bahkan harta mereka untuk mengungkap isinya. Mungkin, suatu hari apa yang terkandung dalam Manuskrip Voynich akhirnya terungkap dan meski isinya mungkin tak sesuai harapan, setidaknya bisa memuaskan rasa penasaran para penelitinya.
(Emirald Julio)