Versi kedua yang berkembang di masyarakat berlatar masa perjuangan melawan penjajah. Namun, tidak pula jelas penjajah mana yang berkuasa saat itu.
"Waktu masa penjajahan, ada pejuang yang terjun payung. Tapi dia tewas tersangkut di pohon," katanya.
Sebagai penghargaan atas jasa pejuang, maka tempatnya menghembuskan napas terakhir dijadikan makam dan dirawat. Dari pejuang tersebut tidak ditemukan data diri. Oleh sebab itu, masyarakat menyebutnya sebagai Ragasemangsang.
Sekitar tahun 1962, Karto bersaksi bahwa makam Ragasemangsang tidak berada di tengah jalan pertigaan seperti sekarang. Dahulu, letaknya ada di tepi jalan kecil yang belum diaspal.
Sekitar 1963-1964, terjadi perluasan jalan di sekitar makam Ragasemangsang. Karena melihat makam itu menjadi misteri dan diberi penghargaan khusus oleh masyarakat terdahulu, akhirnya makam itu tidak dipindahkan. Meskipun pada akhirnya makam itu berada persis di pertigaan jalan.
Kepala bidang pariwisata Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas, Deskart Sotyo Jatmiko mengatakan bahwa tidak ada catatan pasti tentang kisah Makam Ragasemangsang.