MATA Abdul (64) memperhatikan tiap orang yang keluar dari Stasiun Jakarta Kota, Jakarta Barat. Sambil memegang sepeda onthel di bawah terik matahari, pria itu menawarkan jasanya kepada siapa saja yang lewat.
“Mbak, mau ngonthel, mbak?” ujar Abdul kepada seorang wanita yang baru keluar dari stasiun. Wanita itu tak bergeming. Tangannya sibuk mengetik di layar ponselnya. Tak lama, driver ojek online berjaket hijau menghampirinya dan membawa wanita itu pergi.
Abdul hanya melihat, memaklumi akan pilihan si wanita. “Sekarang susah nyari penumpang. Semenjak ada ojek online penumpang udah jarang yang mau naik ojek onthel,” ujar Abdul sembari menyeka keringat di dahinya saat berbincang dengan Okezone, Kamis lalu.
Abdul merupakan penarik ojek onthel di Kota Tua. Sudah 28 tahun ia bergelut dengan sepeda di jalanan Kota Tua, mengais rezeki menawarkan jasa. Sepeda onthelnya sudah butut, warna catnya memudar bahkan beberapa bagian mulai berkarat. Suara belnya pun tak senyaring dulu. Tapi sepeda itu penopang hidup Abdul sekaligus keluarganya di Bogor.
Pengojek onthel di Kota Tua (Chyntia/Okezone)
Abdul merupakan satu dari puluhan orang yang saban hari mengais rezeki dengan sepeda onthel di Kota Tua. Mereka mangkal di beberapa lokasi. Wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang berkunjung ke situ jadi sasaran.
Abdul mengaku, setiap harinya ia biasa mengojek hingga 10 jam. Dia sering mangkal di depan Stasiun Jakarta Kota.
Dulu, di tahun 90-an, saat ojek onthel menjadi moda transportasi primadona di Jakarta Kota, Abdul bercerita dalam sehari ia bisa membawa pulang lebih dari Rp250 ribu. Itupun sudah dipotong uang makan sehari dua kali.
Tapi sekarang, dapat Rp100 ribu saja sehari sudah syukur. Bahkan pernah juga Abdul hanya mendapat uang sekadar cukup buat beli nasi bungkus saja untuk pengganjal perut makan siang dan malam setelah seharian ngegojek onthel.
Abdul menuturkan bahwa pengguna jasa ojek onthel di Kota Tua kini anjlok drastis. Penyebabnya adalah makin menjamurnya ojek online yang menawarkan serba kemudahaan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi.
Ojek online dan onthel menunggu penumpang (Chyntia/Okezone)
Tentu harga ojek online pun jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan ojek onthel. Dalam sekali perjalanan dari Stasiun Jakarta Kota menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, ojek onthel memungut biaya hingga Rp20 ribu. Sementara dengan ojek online hanya membayar sekira dari Rp10 ribu, penumpang sudah tiba di tujuan.
Di tengah gempuran beragam moda transportasi modern, mulai dari ojek online, KRL, Transjakarta, taksi hingga teranyar MRT yang sebentar lagi akan beroperasi, Abdul dan teman-teman pengojek onthel lainnya tetap bertahan dengan onthel. Meski jumlahnya terus menyusut.
“Dulu di sini ada lebih dari 20 an sepeda, sekarang cuma tujuh saja. Banyak yang nyerah dan balik ke kampung,” keluh Abdul.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sam (71), pengojek onthel yang sering mangkal di depan Museum Bahari. Ia mengaku akhir-akhir sulit dapat penumpang.