Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Balada Kampung Wayang Melawan Hilang

Bramantyo , Jurnalis-Sabtu, 24 November 2018 |07:07 WIB
Balada Kampung Wayang Melawan Hilang
Pendi, salah satu pengrajin wayang di Klaten, Jawa Tengah (Foto: Bramantyo/Okezone)
A
A
A

Empat tahun lamannya Pendi 'nyambi' bekerja di pabrik hingga lulus kuliah. Setelah lulus kuliah, Pendi memutuskan keluar dari pabrik tempatnya bekerja. Bukannya menjadi pengrajin, Pendi lebih memilih bekerja menjadi marketing.

"Orang dukuh Butuh ini, termasuk saya dulu, lebih condong memilih bekerja di Pabrik, dari pada menjadi pengrajin pembuatan Wayang kulit. Empat tahun kerja di pabrik sampai lulus kuliah, begitu lulus saya milih kerja di marketing," terangnya.

Saat bekerja sebagai marketing inilah Pendi mengaku tersadar. Akhirnya, Pendi memutuskan mengikuti jejak ayahnya menjadi pengrajin wayang kulit. Meskipun keputusannya itu awalnya cukup berat. Pasalnya, banyak godaan dari teman-temannya untuk bekerja di pabrik dibandingkan menjadi pengrajin pembuatan wayang kulit.

"Ayah saya itu generasi kedua dari keluarga saya membuat wayang. Kalau di dusun ini, pembuatan wayang kulit pertama kali itu pada tahun 1965. Tadinya hanya beberapa orang saja yang membuat wayang. Kemudian terus berkembang dan sampai sekarang banyak warga yang tak kerja di luar desa menjadikan wayang sebagai mata pencariannya," terangnya.

Saat sudah terjun menjadi pengrajin pembuatan wayang kulit inilah, Pendi menjadi paham, mengapa orang di dusunnya ini tak mau menjadi pengrajin pembuatan wayang kulit. Selain banyak yang kesulitan mencari bahan bakunya, proses pengerjaannya memakan waktu lama. Sedangkan penjualannya wayang itu sendiri juga membutuhkan waktu.

"Kalau kerja di pabrik itukan satu bulan bisa dapat Rp 3 juta, itukan sudah banyak. Tapi kalau wayang, waktu sudah banyak kebuang, hasilnya kalau laku itu hanya Rp 400 Ribu sampai Rp 4 juta. Ini yang mereka tidak tahu, kalau menjadi pengrajin wayang kulit itu, kerjannya santai. Belum lagi kalau ada yang pesan satu kotak wayang, hasilnya bisa sampai ratusan juta rupiah," terang Pendi.

Namun diakui Pendi, tak mudah untuk bisa memasarkan wayang kulit. Pasalnya, pemesan wayang kulit itupun jumlahnya masih sedikit. Bahkan, dalang wayang sekalipun jarang memesan wayang di tempatnya. karena, mayoritas para pendalang itu bisa bikin wayang sendiri. Baru, bila mereka kesulitan akan bahan baku dan waktu pementasannya sudah sangat mepet, para dalang itu memesannya.

"Bikin wayang itu tak sulit. Yang sulit itu memunculkan seni (rasa cinta) dihati pembuat wayang kulit itu sendiri. Kalau seni tak keluar, maka hasilnya kurang memuaskan dan wayang yang dihasilkan hasil jadinya kasar. Dan pemesan pun bisa kecewa kalau hasilnya kurang memuaskan,"ungkapnya.

Atas dasar itulah, Pendi selalu membuat wayang-wayang kulit miliknya ini dengan rasa cinta terhadap wayang. Hingga saat ini, belum ada satupun yang membeli wayang kulit ditempatnya yang komplain karena wayang buatannya jelek hasilnya.

Menurut Pendi, tak ada rasa persaingan bisnis dengan pengrajin wayang lainnya di dusunnya. Justru sebaliknya, para pengrajin itu saling membantu bila salah satu pengrajin memenangkan suatu tender pembuatan wayang.

Selain batas waktu pengerjaan sangat singkat, hanya tiga bulan harus selesai. Jumlah wayang kulitnya itu sendiri mencapai 150 - 250 buah wayang untuk satu kotak.

"Saya ikut tender dan pengrajin lainnya pun juga ikut tender pembuatan wayang. Meskipun sama-sama ikut tender, tak ada persaingan sama sekali. Bahkan harganya pun tak ada yang dimainkan sama sekali agar menang tender. Siapapun yang menang, pasti yang lainnya juga akan kebagian. Soalnya, kalau mengerjakan satu kotak itu harus banyak orang. Saya kebagian bikin tokoh wayang siapa, dan pengrajin lainnya juga gitu," ungkapnya.

Kendala terbesar di dusunnya ini, hanya di regenerasi pengrajin wayang kulit saja yang masih minim. Sadar akan kondisi tersebut, Pendi mencari cara bagaimana agar warga didusunnya ini tertarik akan dunia pembuatan wayang. Hingga akhirnya dirinya bertemu dengan temannya yang bekerja di Astra. Saat tahu Bandi berkecimpung dipembuatan wayang kulit, temannya itupun menawarkannya untuk mencoba mendapatkan CSR dari Astra agar bisa masuk didalam Kampung Berseri Astra (KBA).

Mulailah Bandi berusaha keras agar dusunnya ini bisa masuk ke dalam program tersebut. Apalagi saingan dusunnya agar bisa masuk kedalam Kampung Berseri Astra itu adalah Desa Wirun, Mojolaban, Sukoharjo yang merupakan sentra pembuatan gamelan berskala internasional.

Dia mengaku, pada awalnya tidak bermimpi untuk meraih penghargaan atau sejenisnya. Pendi hanya merasa senang ada pihak-pihak yang peduli dengan dunia pewayangan,

Bersama Kelompok Usaha Bersama (Kube) pengrajin wayang kulit, akhirnya Bandi berhasil meyakinkan Astra bila dusunya itu layak masuk kedalam Kampung Berseri Astra.

"Empat kali dusun kami di survai oleh Astra. Dan Alhamdulillah, akhirnya dusun kami masuk kedalam Kampung Berseri Astra. Sejak itulah, pelan tapi pasti, banyak pemuda didusun ini yang mulai belajar membuat wayang. Tapi baru belajar loh, belum berani untuk menjadi pengrajin. Tapi itu sudah baiklah, dari pada tidak," ungkapnya.

Di sisi lain, salah satu Anggota Kelompom Usaha Bersama (KUBE) Bima Dukuh Butuh, Suraji mengakui, dirinya bersama pengrajin wayang lainnya sudah menjalani profesi membuat kerajinan wayang kulit selama sembilan tahun terakhir. Meskipun berkembang, namun pencapaiannya sedikit dan masih jauh dari harapan.

Sementara itu Kepala Desa Sidowarno, Suwarno menyambut positif program KBA dari Astra Grup. Pihaknya berharap, program ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan mendorong potensi masyarakat.

"Melalui program ini, kami berharap agar industri wayang yang merupakan salah satu mata pencarian pokok warga kami bisa maju pesat," pungkasnya.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement