Dari aturan perundang-undangan ini, jelas bahwa WNI yang sudah tinggal di wilayah yang dulunya dikuasai oleh ISIS itu tidak bisa kehilangan kewarganegaraannya, dan juga pemerintah Indonesia tidak diperbolehkan untuk mencabut kewarganegaraan WNI pendukung ISIS yang sudah berhijrah dengan bergabung dengan ISIS di di Irak dan Suriah. Ada dua alasan mendasar dalam UU 12 tahun 2006 tersebut yang menjadi alasannya.
Yang pertama: Islamic State itu bukan negara dan tidak pernah diakui sebagai negara. Oleh karena itu maka WNI yang menyatakan dirinya sebagai pendukung Negara Islam Irak dan Suriah itu secara hukum masih tetap WNI.
Yang kedua: Pemerintah Indonesia tidak bisa membuat seseorang menjadi "tanpa kewarganegaraan" alias Stateless dengan mencabut status kewarganegaraan seorang WNI. Hal ini tertulis secara jelas di pasal 23 UU 12/2006 tersebut, dan sejalan dengan konvensi 1954 dan konvensi 1961 UNHCR tentang pencegahan statelessness, di mana Indonesia turut meratifikasinya.
Dengan demikian maka pilihan untuk mencabut kewarganegaraan WNI pendukung ISIS di Irak dan Suriah saatini, tidak ada! Mereka masih tetap WNI dan oleh karena itu maka pemerintah diharuskan memberi perlindungan konsuler kepada mereka, termasuk memulangkan mereka karena mereka tidak bisa dijadikan beban bagi negara lain, khususnya Irak.

Pemerintah Indonesia sendiri pernah memulangkan WNI dari Irak dan Suriah. Di masa awal ISIS itu muncul, ada 'kepentingan' pemerintah Indonesia untuk memetakan apa yang terjadi di dalam wilayah ISIS. Karena sulitnya melakukan penetrasi ke dalam wilayah ISIS demi pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) alias Intelligence Gathering saat itu sehingga saat ada WNI yang kabur ke luar dari wilayah ISIS maka informasi yang mereka punya menjadi bahan pengumpulan informasi intelijen berharga yang dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia. Jadi pemulangan mereka di fase awal itu semata-mata demi pengumpulan informasi intelijen.
Sekarang, kebutuhan akan informasi intelijen bagi Pemerintah Indonesia tentang ISIS itu sudah tidak setinggi di tahun 2014-2016. Dengan demikian memulangkan para WNI penghianat itu kembali ke Indonesia dengan cepat adalah bukan menjadi prioritas lagi bagi pemerintah Indonesia lagi. Jadi, aturan tentang kewarganegaraan Indonesia memang memandatkan Pemerintah Indonesia untuk memberi pelayanan konsuler dan perlindungan kepada WNI luar negeri, termasuk WNI pendukung ISIS tersebut, tapi aturan tidak menentukan kapan pelayanan tersebut harus dilakukan. Dengan demikian, maka pemerintah Indonesia tidak perlu terburu-buru untuk memulangkan mereka.
Pilihan jangka panjang adalah dengan melakukan perubahan terhadap UU Kewarganegaraan dengan memasukan unsur non-state actor, termasuk unsur organisasi teroris di dalamnya, sehingga orang yang bergabung dengan organisasi teroris di luar negeri atau dengan non-state actors maka bisa kehilangan kewarganegaraannya. Perubahan aturan tentang kehilangan kewarganegaraan Indonesia juga akan bisa menjadi deterensi bagi WNI yang ingin bergabung dengan non-state actors atau kelompok teroris yang berada di luar negeri.
Alto Labetubun, ST, MIS.
Analis konflik dan konsultan keamanan
(Angkasa Yudhistira)