Mendapat perlakuan seperti itu, Rumini lantas mencari tahu apa yang menyebabkan teror terus membayanginya, meski dia telah dipecat sebagai guru honorer. Beberapa sumber menjelaskan, pengungkapan kasus pungli dan penyalahgunaan dana BOS/BOSDa oleh Rumini akan secara otomatis merambat ke sekolah lain.
"Jadi, ada yang kasih tahu saya, kalau kasus pungli dan dana BOS-BOSDa di SDN Pondok Pucung 02 ramai, bisa mengungkap kasus yang sama di sekolah-sekolah lain. Bakal banyak yang kena, karena memang kalau dilihat praktiknya itu nggak mungkin dikerjakan oleh satu-dua orang aja, dan itu sudah berlangsung bertahun-tahun," tutur Rumini.
Merasa khawatir dengan teror atas dirinya, Rumini lantas memberanikan diri mengadu ke kantor Komnas HAM di Jakarta. Di sana, dia menyerahkan segala berkas pendukung dan kronologi teror yang dialaminya sejak dipecat dari SDN Pondok Pucung 02.
"Kalau lapor ke polisi sudah. Lalu akhirnya saya melapor juga ke Komnas HAM, saya merasa terancam. Saya lampirkan semua kronologi, berkas-berkas yang saya punya. Sudah diregister, jadi nanti menunggu ada konfirmasi lagi dari Komnas HAM," tuturnya.
Pengaduan Rumini ke Kantor Komnas HAM dilakukan pada 12 Juni 2019. Di mana, surat tanda terimanya teregister dengan nomor agenda : 127.031, Sub Bagian Penerimaan dan Pemilahan Pengaduan. Pada kesempatan itu, pihak Komnas HAM sendiri menyarankan agar dia membuat pula laporan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ihwal penyadapan handphone-nya.
"Jadi handphone saya kan eror, nggak tahu kenapa, nggak bisa digunakan, bisa jadi disadap juga. Makanya saat di Komnas HAM disarankan buat laporan ke Kominfo juga, untuk mengecek apa benar ada penyadapan itu," ujarnya.
(Arief Setyadi )